Selasa, 12 Juli 2011

Si Gelap



 Corak berpikir paling nampak dan fundamental pada awal mula ber-filsafat-isasi (Maaf. Ini bahasaku sendiri. Anda cari dalam kamus mana pun tak mungkin ada. Harap maklum!)-salah satunya-adalah menggunakan rasio (akal) tanpa merujuk pada agama, wahyu, otoritas, tradisi, dll.. Akal, dalam hal ini, haruslah benar-benar difungsikan sampai mencapai puncak klimaksnya. Hingga pada akhirnya, akan mendapatkan “hal-baru” yang menggegerkan dunia karena hal semacam ini belun pernah ada sebelumnya.
Manusia pertama yang berhasil mendapatkan penghargaan “berpikir” seperti ini adalah Thales dengan teorinya bahwa segala sesuatu pada akhirnya bisa direduksikan ke air. Tak mau kalah, menyusullah kemudian Anaximenes (kira-kira 585-528 S.M.) dengan bantahannya bahwa anasir yang paling dasar dari alam semesta bukanlah air melainkan udara. Beberapa waktu berselang, muncul Heraklitus (500-480 S.M.) yang memiliki gagasan menarik mengenai logika lawanannya. Ia menawarkan konsep bahwa api merupakan anasir yang paling tepat untuk memaparkan kompleks-bangunan metafisis dasar. Akhirnya, Demokritus (460-371 S.M.) memandang anasir alam semesta yang mendekati kebenaran adalah teori “atomisme” terawalnya.
Bantah-membantah dan tentang-menentang teori yang Ianggap lapuk dan usang saat awal mula munculnya filsafat di Yunani merupakan hal yang lumrah. Bahkan, Aristoteles dengan begitu arifnya mengatakan, “Kalau boleh kusarankan, sedikitlah berpikir tentang Sokrates, tapi banyak-banyaklah berpikir tentang kebenaran.” Begitupun dalam berfilsafat hingga saat ini. Tradisi yang seperti inilah yang sekiranya perlu untuk dipertahankan hingga darah penghabisan agar filsafat dengan berbagai paradigma berpikirnya menemukan pelbagai kebenaran yang hingga saat ini masih bermisteri.
 Cukup beresiko memang dari semua teori mereka berempat mengenai  Arche. Merombak tradisi, kepercayaan, dll., adalah harus menjadi laku-wajib mereka untuk mendapatkan suatu kebenaran yang sebenarnya (puncak realitas). Tak lagi ada rasa “bimbang”-apalagi “takut”-dalam benak  mereka. Bimbang karena, misal, mereka akan dikucilkan dari interaksi sosial yang sehat karena konsep yang mereka tawarkan akan memantik murka para dewa sebagaimana yang dipercaya kebanyakan orang pada waktu itu. Pun takut karena akan disiksa, dengan berbagai bentuknya, oleh pemimpin yang berkuasa untuk menentukan sikap sebagaimana yang ia kehendaki untuk menghukum para filsuf yang menyalahi doktrin penguasa. Contoh yang paling miris yang perlu Iabadikan dalam benak kita adalah kematian Sokrates yang rela meneguk hemlock (racun tumbuhan) demi mempertahankan dunia lain yang Ianggap menjadi tujuan akhirnya. Betapa…
Nah, bisakah kita berusaha untuk sekedar meniru usaha brilian seorang Aristotes??? (Eitz, awas. Jangan lantas meminum hemlock juga, lho!!!)
Mari kita berusa meniru atau meniru-niru usaha-Nya. Tentunya dan tak lain dengan berfilsafat! Semoga! (Duh, kapan sih yang mau bercerita tentang Herakleitos. Kesuen, Rek. Hahaha…)


Cerita Mimpi Tak Usaiku Tentang “Ho Skoteinos”
Ya. Begitulah gelar terhormat yang disandang Herakleitos. Entah, muasalnya dari siapa, mengapa dan karena apa, hingga detik ini, aku tak mendapatkan infonya. Payah!. Yang jelas, gelar tersebut diberikan bukanlah tanpa makna dan asal-asalan orang-orang semasa Ia (baca: Herakleitos) hidup. Pun, bukan karena kulitnya yang berwarna gelap atau karena Ia suka yang gelap-gelap. Bukan! Hingga saat ini, tak seorangpun yang paham betul tentang kompleksitas misteri pemikirannya. Apalagi, tentang Orakel-nya yang cenderung lebih dimengerti dengan ketidak-mengertian dan kesulitan “apa?” maksud sebenarnya dari Orakel Herakleitos tersebut. Well, sangatlah wajar jika Ia mendapat gelar terhormat sebagai Si Gelap (Ho Skoteinos).
Ia berasal dari Efesus, sebuah kota di pesisir yang sama dengan Miletos. Karibnya Phytagoras dan Xenophanes, namun Ia lebih muda usianya daripada mereka. Pun Ia lebih tua usianya daripada Parmanides, sebab ia dikritik oleh filsuf dari Elea itu. Hal yang paling disukainya adalah menulis amsal berbentuk fragmen yang terkadang tidak jelas artinya-sialnya, kita tak bisa sedikitpun mengecap penuh fragmen-fragmen yang berbentuk buku. Sisanya hanya 130 fragmen. Alasan hoby-nya mudah: Ia ingin meniru orakel atau sabda dewata yang diberikan di kota Delphoi, tempat ziarah untuk seluruh Hellas.
Gaya tulisan tersebut mungkin ada hubungannya dengan perangainya yang sombong. Kalau kita membaca fragmen-fragmen dan mendengan kesaksian-kesaksian, timbullah kesan bahwa wataknya tinggi hati dan sombong: bahwa rakyat, menurutnya, adalah bodoh, kebanyakan manusia jahat, mengutuki warga Ephesos dan mencela orang-orang terkemuka yang dijunjung tinggi di seantero Yunani. Dan sangatlah memungkinkan bila gelar yang Ia dapat salah satu muasalnya dari sifat buruknya. Buruk berkonotasi gelap.

Ceritaku selanjutnya mengenai inti dari pemikiran Si Gelap, rententannya seperti ini:

Ia mengkonsepsikan tentang benda-benda yang dalam benda-benada tersebut terdapat ke-satu-an hal-hal yang bertentangan. Ceritanya kepadaku, “Jalan naik ke bukit dan jalan turun dari bukit bukanlah dua jalan berbeda dengan jalan berbeda, melainkan merupakan jalan yang satu dan sama.” “Herakelitus muda dan Heraklitus tua bukanlah dua indifidu yang berbeda, keduanya sama-sama Herakleitos.” “Bila seorang teman mengatakan bahwa botol minuman Anda setengah penuh dan Anda mengatakan setengah kosong, Anda tidak bertentangan dengan sang teman.”
Sambil berbisik dan mendekatkan mulutnya padaku, sayup suara tak jelas menggelitik pendengaranku, “Itu Orakel. Jangan tertipu!” “Asem. Aku tertipu!!!” Tapi, tertipuku hanya sementara. Karena tanpa aku sadari, tertipuku berubah me-njadi seperti ini:
Sangatlah jelas bahwa konsepsinya tentang alam semesta menganalogikan dengan Orakel di atas. Bahwa alam semesta ini ada tersebabkan adanya pertentangan-pertentangan di dalamnya. Namun, dalam pertentangan-pertentangan tersebut terdapat satu-kesatuan yang saling berinteraksi dan melengkapi satu sama lainnya. Contoh konkrit dan rasionalnya: kesehatan dan penyakit. Kesehatan bisa berharga bila kita sudah mengalami keduanya. Hingga pada akhirnya kita akan merasakan,  “Betapa indahnya kesehatan tersebab adanya penyakit. Dan alangkah berharganya sakit itu!” (Ssst, benar nggak ya kalimat yang terakhir ini?)
Intinya, lagi-lagi seperti yang disayupkannya ke pendengaranku, tak usahlah kita ribet-rebet memikirkan tentang perselisihan dan kontradiksi. Apalagi untuk menghindarinya. Sungguh, jangan! Karena, justru dengan hal tersebutlah alam semesta ini ada dan dunia ini berputa. Jadi, jika kita mengingkari kontradiksi, maka kita mengingkari kenyataan!
Namun, ini juga berarti bahwa realitas, meliputi alam semesta dan isinya, adalah suatu hal yang pada dasarnya tidak stabil. Segalalanya adalah  flux, aliran, yang terjadi terus menerus sepanjang waktu. Nah, inilah konsepsi fenomenal yang ke-duanya: “panta rhei kai uden menei.” Anda pasti jengkel mendengarkanarti dari idiom tersebut. Karena bukan hanya sekali-dua-kali anda mendengarnya. Entah secara sengaja atau tidak. Namun, sudahkah otak kita ikut-ikutan jengkel? Sudahkah Anda memahaminya?
Tak ada sesuatu apa pun di alam semesta ini sejak zaman portal berlembar-lembar lampau dulu yang terus sama ada seperti sekarang. Segala sesuatu terus berubah dari waktu ke waktu. Segalanya adalah dalam proses menjadi. Analoginya, lanjut ceritanya, berasal dari penemuan tak sengaja Herakleitos yang sebagaian besar waktunya bersinggungan dengan yang namanya air. Hal ini memperjelas bahwa kebanyakan dari filosof pra Sokrates bertempat tinggal atau sangat sering berada di pesisir.
Saat Dia ingin melepas penat di bawah pohon pinggir sungai (maklum. Herakleitos baru selesai berdiskusi dengan Phytagoras dan Xenophanes), muncul bohlam di atas kepadanya, berwat-wat sinarnya, dan dengan sepontan Dia mengatakan, “Benar betul bahwa aku tak akan bisa masuk ke sungai yang sama untuk yang kedua kali”
Nah, dari igau spontannya tersebut, Herakleitos menganalogikan dengan alam semesta. Bahwa, segalanya dalam alam semesta-bahkan alam semesta itu sendiri-tidaklah diam, tetap, konstan. Melainkan berproses menjadi. Dan, yang harus kita pahami tentang “benda-benda” sesungguhnya bukanlah objek yang stabil, melainkan berada dalam transisi yang terus-menerus. Sesuatu yang selalu berubah-ubah ini disimbolkan Herakleitos dengan Api. Namun, bukanlah Api yang dianasirkan seperti air atau udara sebagaimana yang dikatakan filosof-filosof Miletos sebelum-sebelumnya tentang alam semesta. Tapi, Api di sini dilambangkan sebagai perubahan. Api bukanlah diartika sebagai objek. Namun, sebenarnya lebih merupakan sebuah proses: bahwa api senantiasa memakan bahan bakar yang baru. Dan bahan bakar itu senantiasa berubah menjadi abu dan asap. Anehnya-inilah yang menunjukkan bahwa perlambangannya merupakan hal yang hebat-api tersebut adalah api yang sama. Dari hal inilah Api sangat pantas untuk dilambangkan sebagai perubahan itu sendiri.
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          Orakel Herakleitos
DK 22 B25 “Kematian yang mulia banyak disebabkan oleh takdir yang mulai”
DK 22 B93 “Dewa/i yang bersabda di Delphi, tidak bersembunyi tetapi terungkap dalam tanda”
DK 22 B101 “Saya pergi mencari diriku sendiri”
DK 22 B1 “Logos yang selalu ada, tidak mampu dipahami oleh umat manusia, entah sebelum mereka mendengarnya ataupun setelah mereka untuk pertama kali mendengarnya. Karena, meskipun segala sesuatunya lahir dan mati menurut logos, umat manusia seperti tanpa pengalaman, juga saat mereka mencoba memahami kata0kata dan tindakan yang kutereangkan, yang aku lakukan dengan cara memisahkan segala sesuatu dari phiusis-nya serta kutunjukkan sebagaimana adanya; beberapa orang lainnya bahkan tidak tahu apa yang mereka lakukan sebagai orang yang bangun tidur (orang yang sadar), sama seperti merka melupakan apa-apa yang mereka lakukan sambil tidur”
DK 22 B91 “tidak mungkin menurut Herakleitos masuk dua kali ke dalam air yang sama”
DK 22 B49a “Terhadap air yang sama kita masuk dan tidak masuk, kita ada dan tidak ada”
DK 22 B12 “Ketika masuk ke dalam air yang sama, maka airnya telah berbeda”
DK 22 B 2 “walaupun logos bersifat umum tetapi banyak yg hidup seolah-olah pikiran mereka bersifat pribadi
DK 22 B 30 “Kosmos ini, sama bagi semua, tidak pernah dibuat oleh manusia maupun Tuhan, kosmos ini selalu ada, sekarang ada dan akan ada seperti api yang selalu hidup, menyala dan meredup sesuai waktunya (ukurannya)”
DK 22 B 31a “Siklus menjadi api: pertama laut, dari laut menjadi setengah tanah lalu menjadi setengah terang”
DK 22 B31b “Laut dicurahkan dan diukur dalam ratio yang sama sebelum menjadi tanah
DK 22 B 90 “Segala sesuatunya dapat dipertulkarkan dengan api, dan api adalah alat tukar bagi segala sesuatu, sama halnya semua harta bisa dipertukarkan dengan emas, dan emas dengan segala harta milik”
DK 22 B 66  “api yang bergerak maju akan membedakan dan menguasai segala sesuatu”
DK 22 B 64 “ segala hal dikemudikan oleh petir”
DK 22 B 61 “Laut: air yang jernih dan kotor, karena ikan meminum dan bermanfaat karena manusia  tidak bermanfaat dan mematikan “
DK 22 B 62 “ KeabaIan adalah fana, kefanaan adalah abadi, menghidupi kematian mereka, mematikan kehidupan mereka”
DK 22 B 67 “Tuhan adalah siang hari dan malam hari, musim dingin dan musim panas, perang dan damai, kekayaan dan kelaparan, ia mengambil bentuk yang beraneka ragam, mirip dengan minyak zaitun, saat dicampurkan dengan rempah tertentu, ia lalu diberi nama yang berbeda-beda sesuai dengan bau yang muncul darinya”
DK 22 B 60 “…jalan yang naik dan turun adalah satu jalan yang sama”
DK 22 B 9 “Keledai lebih suka sampah daripada emas”
DK 22 B 111 “penyakit dan kesehatan, manis dan baik, kelelahan dan istirahat”
DK 22 B 40 “Tahu banyak hal tidak mengajar intelek untuk berpikir secara benar, jika iya tentu orang akan belajar pada Hesiodos”
DK 22 B 123 “Alam sangat senang menyembunyikan dirinya”
DK 22 B 80 “Harus mengerti bahwa perang itu sesuatu yang biasa, bahwa pertentangan adalah keadilan, dan bahwa segala sesuatunya muncul dan mati seturut dengan pertentangan dan keniscayaan”
DK 22 B 50 “dengarkanlah bukan kepada saya tetapi kepada logos, itu bijak untuk dipahami, bahwa segala sesuatu adalah satu”
DK 22 B77, B117, B118 “…karena jiwa yang mati menjadi air”

Kritikan terhadap Heraklitos
Heraklitos mengatakan bahwa semua hal berada dalam perubahan secara terus menerus. Maka tidak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri.
Akan tetapi, jika semua hal secara mutlak berada dalam perubahan, pemikiran rasional menjadi tidak mungkin; pemikiran rasional membutuhkan kestabilan – objek-objek yang tetap pada dirinya selama waktu yang cukup lama untuk dapat diselidiki. Kuda harus tetap menjadi kuda barulah dapat dipelajari oleh manusia.
Ketika kita mengamati dunia, kelihatannya tidak ada hal yang sepenuhnya tetap; setiap hal bergerak dan berubah, meskipun berubah sangat sedikit. Tetapi ada kestabilan (hal yang sama dan permanen) yang memadai sehingga kita dapat berbicara mengenai sungai, kuda, manusia, dan banyak hal yang lain. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Heraklitos memperhatikan kestabilan ini yang berada dalam setiap perubahan ini.

1 komentar:

  1. The best casino games for real money | DRMCD
    This is 경주 출장안마 a 계룡 출장안마 no deposit casino for 의정부 출장샵 players from the US. No matter how much you like your game, 안산 출장마사지 with no deposit required, you will 과천 출장안마 get a free bonus of

    BalasHapus