Kamis, 30 Juni 2011

Kematian Dukun Santet Gambreng


 “Cepat!” setengah berteriak, “Bunyi sreng[1] di rumah Sukri sudah dilepas,” mendesah. Keringat dingin pertama membasahi kulitnya. Sedari tadi. Perasaan lain itu menyeruak saat ia tahu tanah halaman rumahnya terasa asing. Bukankah setiap hari tanah ini aku injak. Lihat. Sesekali tergenggam di tangan. Kemudian aku perhatikan benar warna dan bau tanah yang bercampur pasir di genggamanku. Tapi… Aneh. Tak seperti biasanya. Tanah siapakah ini? Atau, siapakah aku hingga mengalpakan tanah warisan turun temurun tetua keluargaku? Semakin bingung. Keringat dingin keluar membanjiri tubuhnya bak laron yang berdesakan keluar saat malam menjelang. Ia mulai gamang: takut dan ragu misi yang akan ia tuntaskan malam ini pula, gagal. Bahkan, ia bisa celaka. Menjadi tumbal beruntun keganasan Gambreng.
Bulan tak terlihat. Gerombol awan yang menyelimuti. Angin menciut. Sedikitpun, tak ada daun yang bergerak. Seakan benar ajal Gambreng tiba malam ini. Malam senin pahing, berarti sial bagi para dukun.  Termasuk dukun santet Gambreng. Nama yang tak lagi asing di desa Naga. Kehebatan yang tak ada duanya. Semua yang tak mungkin, menjadi pasti baginya: membunuh dengan mengisi dengan jarum, silet, gunting ataupun pisau di perut korban. Meloloskan kepala desa maupun kecamatan menduduki kursi yang penuh tanggung jawab. Sejuta beban. Sebenarnya, Gambreng tidak jahat. Ia hanya mencoba profesional terhadap pekerjaannya!
Maka maklum jika aku yang ingusan, tahu berbagai merek mobil: dari yang bersuara keras hingga yang nyaris tanpa bunyi. Dari yang paling jelek hingga yang paling cling. Karena aku yang kurus-kerempeg, berbaju kotor, tanpa alas kaki, bisa melihat diriku sendiri di setiap sudut mobil-mobil itu. Malu, itu yang aku rasakan. Mengapa aku seperti ini? Bukankah Bapak-Ibuku keriput di usia muda karena bekerja dan menyayangiku?! Sedang orang yang keluar dari mobil-mobil itu, sedikitpun, tak ada yang bernasib sepertiku: tubuh kekar-kadang-gendut berdasi, berpakaian bersih dan di sela-sela jemarinya terselip sebatang rokok. Ya. Saban hari, jalan tak beraspal di depan rumahku, mobil-mobil berlalu-lalang. Datang dan pergi. Menuju sebuah rumah angker di ujung selatan rumahku. Rumah yang sendiri, tak ada rumah lagi. Hanya pohon mahoni dan rerimbun obat-obatan yang menemani, di sekitar rumah itu.
***
Seperti bunyi pesawat lepas landas. Dari atas rumah Misdamat. Suara sreng kedua meluncur memecah hening dan gelap malam. Terdengar dari pohon beringin burung hantu beranjak ke pohon lain. Dengan suaranya yang menakutkan. Membangunkan bulu-bulu di tubuh. Kemudian segerombol burung kecil berteriak dan mengepakkan sayapnya: hening makin pecah. Tak perawan lagi. Angin barat perlahan-lahan datang. Semakin memperjelas aroma menakutkan bahwa akan ada tragedi besar mengguncang. Tak kan pernah dilupa. Akan tercatat jelas dalam ingatan turun-temurun. Tua-muda, akan senang menyenandungkan lirik getir hidup semacam ini.
Terdengar jinjit kaki. Tergesa. Dua tubuh yang berpakaian serampangan. Seadanya. Baju bekas ke sawah, tanpa di ganti. Sarung yang ditanggalkan menyilang begitu saja di pundak.  Hidung secanggih anjing pun tak kan bisa menerka harum minyak zaitun dan bau apek baju yang berkejaran di tubuh dua orang ini.
“Lihat!” Misdamat memicingkan mata, “Sa’ong dan…”.
“Mustajib!” mendahului. Sumringah.
Mendelik tak percaya. Melihat sosok tubuh kering kurang makan di sampingnya. “Ya.” diam. Menunggu dua temannya datang mendekat. Wajar jika Misdamat terkejut. Sejak kecil, Genyok memang bodoh dalam segala hal kecuali urusan gelut. Terlalu bodoh, tepatnya. Tak jarang diolok-olok. Anak kecil pun senang mengganggu Genyok. Ayahnya, Salimin, pasrah dengan anak pertamanya ini. Entah apa yang salah pada malam itu. Yang teringat, ia tak membaca do’a sebelum menggumuli istrinya. Bukan do’a, menurutnya, musibab bisa mengawini istrinya. Melainkan nyawa taruhannya. Baginya, terlalu naif jika waktu terbuang percuma gara-gara do’a.
“Gimana,” Sukri memulai, “Siap?” Satu persatu, termasuk Sukri, mengecek peralatan masing-masing. Empat clurit. Dua parang. Empat pisau dapur. Satu linggis kecil berkarat. Dan seplastik garam. Karena paling berpengalaman gelut, Sukri mendapat bagian linggis. Berbadan tinggi-besar, kekar, dan gempal. Cocok dengan pekerjaan sehari-harinya, kuli bangunan. Mustajib dan Sa’ong, biasa saja. Cuma lebih tinggi dan lihai bercelurit. Maklum, petani. Sedangkan Genyok… kurus-kerempeng seperti opak. Bekerja mencari rumput untuk 100 sapi milik Pak Kades. Tentu mahir bercelurit pun berkelit. Seperti layangan terterpa angin yang tak seimbang antara rangka kiri dan kanannya. Bukan main lihainya. Wung Fei Hung bersamurai, menurutku, tak akan menang melawannya. Ditambah lagi jalannya yang patah-patah. Tanpa arak pun, enam jurus mabuk ala cina terlewati   
***
Warung Nyi Inah terletak di ujung selatan simpang tiga jalan desa Naga. Berdinding bambu kecoklatan. Genting bolong di sana-sini. Tak ada kursi maupun meja. Lamak dari daun pualam tergelar di dalam dan luar warung. Nyi Inah seorang janda. Mandul. Umurnya masih 67 tahun: perempuan tercantik seantero desa Naga. Teman sebayanya saja banyak yang tak bisa berjalan. Pikun. Sering bicara sendiri. Tapi Nyi Inah… Amboi. Dia masih bisa tersenyum, manis. Lesung pipinya. Tubuh masih montok. Masa depan yang masih cerah dan menantang. Suara lembutnya, merongrong hati. Jadi maklum, dukun mandraguna seperti Gambreng tersanteti kecantikan Nyi Inah.
Sepi. Suara tong-tong dua belas kali terdengar. Tetap tak ada pembeli di warung Nyi Inah. Hanya Gambreng seorang yang hendak beranjak pulang pembelinya. Gambreng membayar. Kemudian langsung keluar, pulang. Seperti biasa, semua pembeli akan terhuyung. Senang. Serasa baru saja mendapatkan kenikmatan dahsyat yang entah. Padahal, Nyi Inah tak menjual anggur, arak, heroin, ekstasi maupun kokain. Ia hanya menjual rujak, nasi pecel, soto campur, kopi dan, tentunya, secarik senyum gratis yang menyihir.
Belum selesai Nyi Inah menutup warungnya, suara gedebuk, prang, dan ringis sebuah teriak bertalu-talu. Ia bergemegetar dan berkeringat. Takut kualat. Karena telah mencampuri minuman Gambreng seperti yang disuruh Sukri. Orang-orang di desa Naga pun terenyak mendengarnya. Menggigil. Khawatir konspirasi matang tadi siang gagal total malam ini. Semua penduduk, tanpa terkecuali, tak kan ada yang selamat karenanya.
“Nyok,” sebuah suara, “Sikat kepalanya. Incar mata. Cungkil kalau perlu!.” Gelap. Tak jelas siapa yang memerintah. Dengan segala kehebatannya, Genyok membabi-buta menyerang Gambreng. Tiga orang lainnya, menyerang dari belakang, samping kanan dan kiri.
Tak ada hasil. Gambreng mengelak dan terus mengelak. Meski sekujur tubuhnya dihujam celurit, parang, pisau dapur dan linggis berkarat berkali-kali. Tak ada luka sesayatpun di tubuhnya. Seperti inilah kehebatan Gambreng. Kebal. Namun ia tak kekal. Sebentar lagi akan menemui ajalnya. Tunggu saja.
“Hahaha…” tiba-tiba Gambreng tertawa keras. Kontan mereka berempat mundur. Diam. Terpaku. Takut pun menjalar ke semua aliran darah di tubuh mereka. Tak lagi ada yakin bisa membunuh Gambreng malam ini. Mereka benar-benar ketakutan. Mati menyeramkan menjelma hantu di ubun-ubun. Jelas. Sangat jelas.
“Kau lupa kalau aku Gambreng, hah?” mendengus geram. “Sebulan yang lalu aku sudah tahu kalau kau dan semua penduduk akan membunuhku malam ini” membelalak. Genyok semakin mundur dua langkah. “Benar-benar tolol. Dungu!” umpat Gambreng. Kali ini marahnya mencapai klimaks. Mereka berempat semakin yakin akan mati menggenaskan malam ini.
Belum puas, “Gobloook. Tai ayam, kau semua.” Kemudian Gambreng bungkam. Kira-kira sepuluh menit. Melihat hal ini, sedikitpun tak ada yang bisa dilakukan Sukri Cs.. Mereka hanya diam menyaksikan. Tak bisa bergerak walau ingin memberontak.
Mereka terkejut. Saat Gambreng ber-‘hahaha’ sekali lagi. “Ok, kalau itu yang kau inginkan. Aku akan mati malam ini juga di tanganmu. Tak usahlah kau, Sukri, menaburkan garam ke tubuhku. Tanpa itu, sebentar lagi aku akan menjemput ajalku sendiri.” Sukri menyimak tanpa berkedip. Hampir tak bernafas. Angin semakin menggerayangi tubuh mereka berempat.
“Tapi satu hal yang perlu kau tahu. Kalung di leherku dan permata di dalam betisku ini tak usahlah kau buang. Simpan di bawah kolong rumahmu, Sukri.” Serempak mereka berempat saling pandang. Ada sejumput rasa tak percaya di pikiran mereka. Bertarung. Berperang saling mengalahkan: gedebung dan suara prang pun saling bersahutan di kepala mereka. Hanya untuk memilih “Ya” atau “Tidak” dari perkataan Gambreng.
“Kau berempat akan kaya. Hidup makmur. Tak bakal terjerat miskin lagi. Kau akan punya mobil. Ke luar negeri setiap pekan. Semua yang kau inginkan, niscaya tercapai” berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan, “Jika kau tak mau, nyawamulah pilihan keduanya!” Gambreng memberi opsi terakhir yang menyeramkan.
Dengan sangat terpaksa, mereka memilih opsi ke-dua. Membunuh Gambreng dengan mengambil kalung dan menguliti betisnya untuk diambil permata yang terpendam melekat dengan tulang. Kemudian, seperti wasiat Gambreng, meletakkan kalung dan permata itu di bawah kolong rumah Sukri.
***
Setahun berlalu. Sukri, Misdamat, Sa’ong dan Genyok menjadi orang terpandang di desa Naga. Rumah bertingkat tiga. Uang meruah tak ada habisnya. Mobil paling ramping tanpa bunyi desis sedikitpun. Sedangkan penduduk, benar-benar miskin. Kelaparan. Copet-mencopet, rampok-merampok menjadi hal lumrah: hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Di desa sebelah, desa Naga Jadi Dua, terjadi peristiwa yang persis sama terjadi di desa Naga, dulu.
Ketimpangan dimana-mana terjadi karena keserakahan mereka berempat. Kematian janggal Gambreng tak diceritakan ke penduduk Naga, sesuai kesepakatan musyawarah seminggu sebelumnya. Mereka lebih memilih berbohong. Memilih “enaknya” sendiri. Padahal, tanpa mereka ketahui, Gambreng merencanakan semua sebulan sebelum ia dibunuh. Kalung dan permata yang telah diambil bukanlah aslinya. Melainkan bajakan yang dibuat Gambreng. Aslinya, telah ia wariskan kepada anaknya yang tak seorang pun mengetahui dia siapa. Gambreng memang telah mati. Tapi sebenarnya tidak: ia akan terus menghantui dengan segala kegetiran hidup manusia hingga sekarang.




[1] Suara petasan roket