Dulu pernah kaubelikan aku sebuah layang-layang
pada hari ulang tahun.
Aku pun bersorak sebagai kanak-kanak
tapi hanya sejenak.
Sebab layang-layang itu kemudian hilang,
entah ke mana ia terbang.
Seperti aku pun tak pernah tahu kapan kau hilang
dan kembali kutemu.
Lehermu masih hangat meskipun selalu dikikis waktu.
Sekarang umur pun tak pernah lagi dirayakan
selain dibasahkuyupkan di bawah hujan.
Tapi kutemukan juga layang-layang itu di sebuah dahan
meskipun tanpa benang dan tinggal robekan.
Aku ingin berteduh di bawah pohon yang rindang.
(1980)
Tardji minta bir buat pesta di malam buta.
“Sampai tuntas pahit-asamnya.
Sampai pecah ini botolnya.”
Dalam mabuk ia minta tuak dari jantungMu.
“Mana kapak? Biar kutetak leher panjangMu.”
Sampai huruf habislah sudah.
Sampai nganga luka dibelah.
“Ya Allah, sajak terindah kutemu dalam Kau darah.”
(1986)
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel,
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.
Ia menyayat-nyayat kepalaku.
Ia mengkapling-kapling tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)
Badai menggemuruh di ruang tidurmu.
Hujan menderas, lalu kilat, petir
dan ledakan-ledakan waktu dari balik dadamu.
Sesudah itu semuanya reda.
Musim mengendap di kaca jendela.
Tinggal ranting dan dedaunan kering
berserakan di atas ranjang. Hening.
Waktu itu tengah malam. Kau menangis.
Tapi ranjang mendengarkan suaramu sebagai nyanyian.
(1989)
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)
Bulu matamu: padang ilalang.
Di tengahnya: sebuah sendang.
Kata sebuah dongeng, dulu ada seorang musafir
datang bertapa untuk membuktikan apakah benar
wajah bulan bisa disentuh lewat dasar sendang.
Ia tak percaya, maka ia menyelam.
Tubuhnya tenggelam dan hilang di arus mahadalam.
Arwahnya menjelma menjadi pusaran air berwarna hitam.
Bulu matamu: padang ilalang.
(1989)
Ada becak melenggang sendirian di sebuah gang.
Pemiliknya, katanya, telah mati di tiang gantungan.
Ada becak hanyut di sungai.
Sungainya keruh, mengalir ke laut yang jauh.
Orang-orang berkumpul di atas jembatan,
mengira si pemiliknya telah mati tenggelam.
Tapi ada yang berbisik kepada saya:
“Akulah yang menghanyutkannya
dan ternyata kalian amat suka menontonnya.”
Ada juga yang berkata:
“Sesampainya di laut, becak itu akan menjelma
menjadi sebuah perahu yang harus bertarung
sendirian melawan badai, ombak dan malam.”
(1990)
Di rambutmu burung-burung membuat sarang.
Burung-burung yang terbang dari khasanah senja;
yang sudah berapa lama terkurung dalam himpian Hawa.
Burung-burung yang memintal benang-benang cahaya
dengan kepak lembut sayap-sayapnya yang luka.
Burung-burung yang menggurat padang langit hijau
dengan cakar-cakar perih dan kicau-kicaunya yang parau.
Dan engkau adalah pohon yang dahan-dahannya
menjulur lentur karena adalah kenangan.
Yang akar-akarnya menjuntai ke wilayah malam.
Yang ranting-rantingnya lembut karena adalah igauan.
Yang daunnya rimbun menghalau kobaran jaman.
Yang pucuk-pucuknya menjulang karena adalah jeritan.
(1990)
: anno 1968 - 1973
Pohon bungur di puncak bukit
dalam naungan senja.
Bunga-bunganya berceceran
dihirup angin selatan.
Pohon bungur di puncak bukit
dalam belaian usia.
Kuingat selalu bunga merahnya yang ranum
diguyur hujan menjelang malam turun.
(1990)
in memoriam: Sukabumi
Daun-daun karet berserakan.
Berserakan di hamparan waktu.
Suara monyet di dahan-dahan.
Suara kalong menghalau petang.
Di pucuk-pucuk ilalang belalang berloncatan.
Berloncatan di semak-semak rindu.
Dan sebuah jalan melingkar-lingkar.
Membelit kenangan terjal.
Sesaat sebelum surya berlalu
masih kudengar suara bedug bertalu-talu.
(1990)
Ia melewati jalan yang sudah bosan
menghitung langkahnya.
Rambutnya menyimpan kunang-kunang.
Matanya ingin menggapai bintang-bintang.
Tak ada yang benar-benar mengenalinya
selain angin yang masih menyebutnya perempuan.
Perempuan itu tak mau menangis.
Air matanya sudah hanyut di sungai.
Dan meskipun sungai berulangkali meriuhkan keperihan,
arus air tak mau kembali mengulang detak jam.
Malam sekarat di balik gaun transparan
dan sisa waktu dilumatkan di ujung lengan.
Letupkan penyanyi, letupkan nada terakhir
yang belum sempat dihunjamkan.
Siapa tahu dada montok itu masih merindukan jeritan.
Tersaruk-saruk ia menyeret bayangan tubuhnya.
Gerimis hitam mengguyur wajahnya yang beku
sehingga bedak dan lipstik luntur
melumuri gaunnya yang putih.
Rambut coklatnya meleleh pekat.
Tapi singa luka itu tak mau pedih.
Mungkin hatinya merintih.
Maka kunang-kunang menggeremang di rambutnya,
bintang-bintang berkerlapan di matanya.
Ia menyanyi dan menari dan pinggulnya yang hijau
mengibaskan bayangan hitam orang-orang mati.
Tersuruk ia di sebuah tikungan
dan para peronda mau membawanya ke gardu.
Tapi singa luka itu menggeram nyalang
dan para lelaki dihardiknya pergi.
Hai perempuan, rumah mana bakal kautuju?
Awas hati-hati, di ujung jalan banyak polisi.
Ah sialan, dasar pemberani, sudah luka
masih juga menggoda. Tampaknya ia percaya
sebuah rumah setia menanti.
Seperti tamu asing, ia berhenti di depan pintu besi.
Plat nomor telah rusak, tak lagi mencantumkan angka.
Ia ragu apakah benar itu rumahnya.
Tapi ia masih ingat beha usang yang tergantung
di atas pintu, tanda sebuah dunia
atau sepenggal kehidupan masih menunggu.
Pintu besi telah mengunci diri,
menutup hati bagi tamu yang ingin singgah.
Daripada kaku dibalut embun pagi,
dipanjatnya pagar halaman berduri.
Seekor anjing menyalak nyaring
menggonggongi bau keringatnya yang asin.
Kembali ia termangu.
Ia ragu membuka pintu.
Ia takut pada pintu.
Baru setelah diketuk tujuh kali,
pintu hitam membukakan diri.
“Bukankah ini rumahmu?
Apakah engkau takut atau lupa samasekali?”
“Ya, ini memang rumahku.
Saban kali aku meninggalkannya,
saban kali pula harus mengenalinya kembali.”
Ia tertegun. Dadanya mengkerut
disepak dentang lonceng jam tiga pagi.
“Ah pintu, engkau lebih mengenal rumahku
ketimbang aku sendiri yang saban waktu merindukannya
dan kemudian meninggalkannya.
Barangkali studio-studio suara
dan panggung-panggung hiburan
telah membuatku jadi pelupa, jadi serba alpa.”
Perlahan ia melangkah ke ambang pintu.
Angin jahat menyingkap ujung gaunnya yang tipis.
Kakinya yang lembab melekat di lantai dingin.
Terasa dunia jadi lain, terasa dunia jadi lain.
Di dinding hitam sebuah topeng terkekeh-kekeh,
menyeringai menertawakan tamu asing
yang bertandang ke rumahnya sendiri.
Apakah ada malaikat yang selalu membawa anak kunci?
Kamar sudah menganga sebelum ia buka pintunya.
Dan di atas meja rias yang porak poranda
sebuah boneka masih menari-nari.
Astaga, ranjang hitam menggoyang-goyangkan diri.
Kelambu telah habis dibakar mimpi.
Sebuah radio tertidur pulas di bantal biru,
tak henti-hentinya mengigau dan meracau.
Wah, tampaknya ia tengah bercumbu dengan orang mati
yang menciptakan gelombang siaran dinihari.
Ah perempuan, yang merindukan kebangkitan musim semi,
kini tubuhmu tegak di hadapan cermin retak.
Bibirmu hangus dan mengelupas. Berdarah.
Berdarah-darahlah leher hijau yang diterkam musim panas.
Kau mengaduh. Aduh. Kepada siapa kau mengaduh?
Kepada tatapan yang hancur luluh?
Kepada cermin yang tak lagi utuh?
Wah, jidatmu yang legam dilayari kupu-kupu hitam,
diarungi cicak-cicak hitam. Serba hitam.
Perempuan itu samasekali tidak gila.
Tidak lupa pada jagad kata yang dihuninya seorang diri
tanpa cinta. Tidak sangsi dan benci pada janji-janji baik
yang diucapkan para kekasih yang mengurungnya
dalam lingkaran ilusi. Ia tidak gila.
Hanya sepi berkepanjangan, barangkali.
Dan ia benar-benar perempuan. Terbukti ia tabah,
tidak mudah menyerah pada keinginan murahan
untuk mencekik leher, memotong urat nadi.
Memang ia mengambil pisau dari laci almari,
tapi bukan untuk bunuh diri.
Ia cuma ingin menyembelih bayangan-bayangan hitam
yang berbondong-bondong di dinding legam.
Sebuah kamar bisa menjadi salon kecantikan.
Di sana ia bersolek, mengganti model rambut, alis
dan bulu mata agar setiap orang tergoda untuk pura-pura
tak mengenalnya sehingga ia bisa mendapatkan cinta baru
di atas kecantikan lama.
Demikian pula para lelaki
akan mendapatkan kejantanan kembali
pada tatapan yang sesilau kerlip api
setelah sekian lama dunia mereka miliki sendiri.
Ah lelaki, wajahmu tersipu malu disambar rayuan baru.
Lalu ia menyanyi di depan kaca almari.
Lagu-lagu lama disenandungkan kembali.
Kadang lebih merdu dari yang dinyanyikan di masa lalu,
lebih baru dari lagu-lagu terbaru.
Perempuan, kau memang hanya berlomba dengan waktu.
Tak usah ditunda lebih lama.
Bibir pedas sudah siap menerima lumatan.
Dan jika dada kenyal itu menggembung mengempiskan
hasrat-hasrat terpendam, kamar sempit siap menampung
gemuruh topan dan lalu badai kehampaan.
Tapi tak ada saat untuk menangis menggigit-gigit tangan.
Penyanyi, jangan meraung memukul-mukul dinding.
Ranjang hitam sudah menggeliat minta dekapan.
Cermin retak sudah kembali berdandan.
Tanggalkan gaun usang, cobalah menggelinjang.
Dentang lonceng jam tiga pagi tergelak-gelak
menyaksikan tubuhmu, sakitmu, yang telanjang.
(1991)
Kadang ingin sangat aku pulang ke rumahmu.
Setidaknya kubayangkan suatu senja aku datang
ke ambang jendelamu, melongok wajah seseorang
yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Halte. Aku terdampar di sebuah halte.
Menunggu bus yang sebenarnya telah lama lewat.
Mengulur-ulur waktu agar tidak cepat sampai
ke arah jantung atau erangan bisu.
Lihatlah, setiap orang memasang halte
di tempat persinggahan.
Menunggu dan menanti tak henti-henti.
Mengangankan masih ada bus yang bakal datang
membawanya pulang atau mungkin pergi jauh sekali.
Demikianlah musafir: kita takut menjadi tua
namun juga tak pernah bisa kembali menjadi bayi,
menjadi kanak-kanak
kecuali bila kita ciptakan lagi kelahiran
di saat halte mau membimbing kita ke peristirahatan.
Rindu. Aku ini memang selalu rindu untuk pulang
tapi saban kali juga tak betah.
Petualang sekaligus pencinta rumah.
Di saat lelap sering kulihat bayangan tubuhmu
berjalan terbungkuk-bungkuk dengan gaun putih,
menyibak dan menutup kembali kelambu mimpi.
Halte. Aku ingat sebuah halte di ujung kota yang entah.
Perhentian tempat penantian dikekalkan
dan sekaligus diakhiri.
Alamat kepada siapa kaukirimkan aduhan bernama surat.
Rendezvous yang kepadanya kautujukan persediaan waktu.
Tak bosan-bosan. Jendela selalu membukakan dirinya
untuk dimasuki dan ditinggalkan.
Seakan seseorang selalu siap di atas ampunan,
menerima dan melepaskan salam.
Seperti juga telapak tanganmu: selalu terbuka
untuk dilayari dan disinggahi.
Mengapa kita takut pada ketakutan?
Mengira tak ada yang bisa diabadikan?
Tengah malam kita sering terbangun
lalu berdiri di depan cermin.
Merapikan rambut yang kusut.
Membelai wajah yang membangkai.
Memugar mata yang nanar.
Andaipun langit memperpendek batas,
tak berarti jangkauan begitu saja lepas.
Siapa tahu tatapan malah meluas,
memburu sinyal-sinyal baru
yang memberitakan atau menyembunyikan pesanmu.
Tergambar jelas di potret lama:
wajah yang dingin dihangati usia.
Burung-burung pipit mengurung senja,
matahari beringsut pada lingkaran biru.
Kemudian malam terlipat di pelupukmu
dan sebuah himne menggema di lintasan alismu.
Berapa lama kata-kata berbincang tentang artian?
Uban-uban tak mau bicara tentang ketuaan.
Almanak tak menyiratkan tanggal dan bulan.
Garis-garis tangan tak menuliskan suratan.
Dinding-dinding tak membatasi ruang.
Berapa lama ucapan tak mau bungkam?
Ah padang pasir.
Panasmu ingin menghanguskan perkemahan.
Kau pikir para pengungsi mau dilumat kelaparan?
Lihatlah, sungai itu tetap saja hijau.
Kematian dienyahkan ke bukit-bukit karang,
kanak-kanak bermain terompet di lubang persembunyian.
Katakan pada ibu, si buyung mau lebih lama merantau.
Rumah itu mungkin akan selalu menanyakan kepulangan,
pintu-pintu minta kiriman kisah petualangan.
Aduh sayang, jarak itu sebenarnya tak pernah ada.
Pertemuan dan perpisahan dilahirkan oleh perasaan.
Hari itu jam bergerak lambat.
Malam mengingsut seperti siput mengusut kabut.
Di jauhan anjing-anjing bertengkar berebut kucing.
Kalender menangis melengking-lengking.
Apakah waktu sudah sangat bosan menghuni jam dinding?
Aduh sayang, detik-detik berjatuhan ke lantai dingin,
diserbu semut-semut hitam untuk pesta persembahan.
Lalu kau merapat ke kaca almari:
mengganti baju, menyempurnakan kecantikan.
Matamu menyala serupa lilin.
Keningmu berkobar dibantai sinar.
Apakah kau sedang berkemas ke kuburan?
Alamak, beri aku sedikit waktu.
Nyawaku tertinggal di rumah sakit.
Baju usang yang kusayang tergantung riang di tali jemuran.
Sudah rapuh, sudah kumal, sudah pula penuh jahitan.
Seperti kujahit leher yang retak, leher yang koyak
dirobek-robek kemiskinan.
Salam bagimu peziarah muda.
Hatimu telah mencatat peristiwa-peristiwa kecil
yang dilupakan dunia.
Ke mana nyerimu melangkah, ke sana jantungmu mencari.
Lonceng gereja mengepung rindumu di malam buta,
membangunkan si sakit dari ranjang beku
di kamar-kamar mati. Salam bagimu pasien abadi.
Suatu hari aku ingin mengajak si mayat berburu singa
di hutan purba. Melacak jejak sejarah nenek moyang
yang melahirkan nama-nama. Merunut silsilah gelap
dari mana aku datang ke mana aku pulang.
Senja hampir layu. Burung-burung berarak pulang
menuju lingkaran biru. Gaun siapa tertinggal
di bangku taman, dibawa kupu-kupu ke pucuk cemara?
Musim bunga tergesa-gesa pergi diburu musim
yang kehilangan cuaca.
Jika benar air mancur itu tak ingin tidur,
barangkali bisa kutitipkan kebosanan padanya.
Angin dan angan menyurutkan malam,
menyibakkan tirai pagi sebelum surya ungu
berayun di ambang pintu:
mengabarkan saat kematian dunia waktu.
Halte. Aku terdampar kembali di sebuah halte.
Melupakan bus yang tak akan lewat atau sudah lama lewat.
Memilih saat terbaik untuk pulang ke rumah, ke dunia entah.
Untuk datang ke ambang jendelamu, melongok wajah
seseorang yang sedang melukis matahari di telapak tangan.
Seperti pada saat keberangkatan.
(1991)
Ranjang kami telah dipenuhi semak-semak berduri.
Mereka menyebutnya firdaus yang dicipta kembali
oleh keturunan orang-orang mati.
Tapi kami sendiri lebih suka menyebutnya dunia fantasi.
Jasad yang kami baringkan beribu tahun telah membatu.
Bantal, guling telah menjadi gundukan fosil yang dingin beku.
Dan selimut telah melumut. Telah melumut pula
mimpi-mimpi yang dulu kami bayangkan bakal abadi.
Para arwah telah menciptakan sendang dan pancuran
tempat peri-peri membersihkan diri dari prasangka manusia.
Semalaman mereka telanjang, meniup seruling,
hingga terbitlah purnama. Dan manusia terpana, tergoda.
(1991)
Di kulkas masih ada
gumpalan-gumpalan batukmu
mengendap pada kaleng-kaleng susu.
Di kulkas masih ada
engahan-engahan nafasmu
meresap dalam anggur-anggur beku.
Di kulkas masih ada
sisa-sisa sakitmu
membekas pada daging-daging layu.
Di kulkas masih ada
bisikan-bisikan rahasiamu
tersimpan dalam botol-botol waktu.
(1991)
Demonstrasi telah bubar. Kata-kata telah bubar.
Juga gerak, teriak, gegap, gejolak.
Tak ada lagi karnaval.
Bahkan pawai dan gelombang massa telah menggiring diri
ke dataran lengang, tempat ilusi-ilusi ringan
masih bisa bertahan dari serbuan beragam ancaman.
Siapa masih bicara? Bendera, spanduk, pamflet
telah melucuti diri sebelum dilucuti para pengunjuknya.
Tak ada lagi karnaval.
Di pelataran yang mosak-masik yang tinggal hanya
koran-koran bekas, berserakan, kedinginan
diinjak-injak sepi.
Tapi di atas mimbar, di pusat arena unjuk rasa
Nyumin masih setia bertahan, sendirian.
Lima peleton pasukan mengepungnya.
“Sebutkan nama partaimu.”
“Saya tak punya partai dan tak butuh partai.”
“Lalu apa yang masih ingin kaulakukan?
Mengamuk, mengancam, menggebrak, melawan?”
“Diam, itu yang saya inginkan.”
“Lakukan, lakukan dengan tertib dan sopan.
Kami akan pulang, mengemasi senjata,
mengemasi kata-kata. Pulang ke rumah
yang teduh tenang.”
Sayang Nyumin tak bisa diam. Nyumin terus bicara,
menghardik, menghentak, meronta, meninju-ninju udara.
Dan para demonstran bersorak: “Hidup Nyumin!”
Suasana serasa senyap, sesungguhnya.
(1992)
Telah sekian lama mengembara, lelaki itu akhirnya pulang
ke rumah. Ia membuka pintu, melemparkan ransel, jaket,
dan sepatu. “Aku mau kopi,” katanya
sambil dilepasnya pakaian kotor yang kecut baunya.
Isterinya masih asyik di depan cermin, bersolek
menghabiskan bedak dan lipstik, menghabiskan sepi
dan rindu. “Aku mau piknik sebentar ke kuburan.
Tolong jaga rumah ini baik-baik. Kemarin ada pencuri
masuk mengambil buku harian dan surat-suratmu."
Tahu senja sudah menunggu, lelaki itu bergegas masuk
ke kamar mandi, gebyar-gebyur, bersiul-siul, sendirian.
Sedang isterinya berlenggak-lenggok di cermin,
mematut-matut diri, senyum-senyum, sendirian.
“Kok belum cantik juga ya?”
Lelaki itu pun berdandan, mencukur jenggot dan kumis,
mencukur nyeri dan ngilu, mengenakan busana baru.
Lalu merokok, minum kopi, ongkang-ongkang, baca koran.
“Aku minggat dulu mencari hidup. Tolong siapkan
ransel, jaket, dan sepatu.” Si isteri belum juga rampung
memugar kecantikan di sekitar mata, bibir, dan pipi.
Ia masih mojok di depan cermin, di depan halusinasi.
(1994)
Segerombolan pembunuh telah mengepung rumahnya.
Mereka menggigil di bawah hujan yang sejak sore
bersiap menyaksikan kematiannya.
Malam sangat ngelangut, seperti masa muda
yang harus bergegas ke pelabuhan,
meninggalkan saat-saat indah penuh kenangan.
Ia sendiri tetap tenang, ingin santai dan damai
menghadapi detik-detik akhir kehancuran.
Ia mengenakan pakaian serba putih
dengan rambut disisir rapih dan wajah amat bersih.
Bahkan ia masih sempat menghabiskan sisa kopi
di cangkir ungu sambil bersiul dan sesekali berlagu.
“Selamat datang. Saya sudah menyiapkan semua
yang akan Saudara rampas dan musnahkan: kata-kata,
suara-suara, atau apa saja yang Saudara takuti
tetapi sebenarnya tidak saya miliki.”
Ia berdiri di ambang pintu.
Ditatapnya wajah pembunuh itu satu satu.
Mereka gemetar dan memandang ragu.
“Maaf, kami agak gugup.
Anda ternyata lebih berani dari yang kami kira.
Kami melihat kata-kata berbaris gagah
di sekitar bola mata Anda.”
“Terima kasih, Saudara masih juga berkelakar
dan pura-pura menghibur saya.
Cepat laksanakan tugas Saudara atau kata-kata
akan balik menyerang Saudara.”
“Baiklah, perkenankan kami sita dan kami bawa
kata-kata yang bahkan telah Anda siapkan dengan rela.
Sedapat mungkin kami akan membinasakannya.”
“Ah, itu kan hanya kata-kata.
Saya punya yang lebih dahsyat dari kata-kata.”
Tanpa kata-kata, gerombolan pembunuh itu berderap pulang.
Tubuh mereka yang seram, wajah mereka yang nyalang
lenyap ditelan malam dan hujan.
Sementara di atas seratus halaman majalah
yang seluruhnya kosong dan lengang
kata-kata bergerak riang seperti di keheningan sebuah taman.
Sebab, demikian ditulisnya dengan tinta merah:
"Kata-kata adalah kupu-kupu yang berebut bunga,
adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya,
adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya."
Lalu ia tidur pulas.
Segerombolan pembunuh lain telah mengepung rumahnya.
(1995)
Ia duduk seharian di salon kecantikan.
Melancong ke negeri-negeri jauh di balik cermin.
Menyusuri langit putih biru jingga
dan selalu pada akhirnya: terjebak di cakrawala.
“Sekali ini aku tak mau diganggu.
Waktu seluruhnya untuk kesendirianku.”
Senja semakin senja.
Jarinya meraba kerut di pelupuk mata.
Tahu bahwa kecantikan hanya perjalanan sekejap
yang ingin diulur-ulur terus
namun toh luput juga.
Karena itu ia ingin mengatakan:
“Mata, kau bukan lagi bulan binal
yang menyimpan birahi dan misteri.”
Ia pejamkan matanya sedetik
dan cukuplah ia mengerti
bahwa gairah dan gelora
harus ia serahkan kepada usia.
Toh ia ingin tegar bertahan
dari ancaman memori dan melankoli.
Ia seorang pemberani
di tengah kecamuk sepi.
Angin itu sayup.
Gerimis itu lembut.
Ia memandang dan dipandang
wajah di balik kaca.
Ia dijaring dan menjaring
dunia di seberang sana.
Hatinya tertawan di simpang jalan
menuju fantasi atau realita.
Mengapa harus menyesal?
Mengapa takut tak kekal?
Apa beda selamat jalan dan selamat tinggal?
Kecantikan dan kematian bagai saudara kembar
yang pura-pura tak saling mengenal.
“Aku cantik.
Aku ingin tetap mempesona.
Bahkan jika ia yang di dalam cermin
merasa tua dan sia-sia.”
Yang di dalam kaca tersenyum simpul
dan menunduk malu
melihat wajah yang diobrak-abrik tatawarna.
Alisnya ia tebalkan dengan impian.
Rambutnya ia hitamkan dengan kenangan.
Dan ia ingin mengatakan:
“Rambut, kau bukan lagi padang rumput
yang dikagumi para pemburu.”
Kini ia sampai di negeri yang paling ia kangeni.
“Aku mau singgah di rumah yang terang benderang.
Yang dindingnya adalah kaki langit.
Yang terpencil terkucil di seberang ingatan.
Aku mau menengok bunga merah
yang menjulur liar
di sudut kamar.”
Ada saatnya ia waswas
kalau yang di dalam cermin memalingkan muka
karena bosan, karena tak betah lagi berlama-lama
menjadi bayangannya
lalu melengos ke arah tiada.
Lagu itu lirih.
Suara itu letih.
Di ujung kecantikan jarum jam
mulai mengukur irama jantungnya.
“Aku minta sedikit waktu lagi
buat tamasya ke dalam cemas.
Malam sudah hendak menjemputku
di depan pintu.”
Keningnya ia rapatkan pada kaca.
Pandangnya ia lekatkan pada cahaya.
Ia menatap. Ia melihat pada bola matanya
segerombolan pemburu beriringan pulang
membawa bangkai singa.
Senja semakin senja.
Kupu-kupu putih hinggap di pucuk payudara.
Tangannya meremas kenyal yang surut
dari sintal dada.
Dan ia ingin mengatakan:
“Dada, kau bukan lagi pegunungan indah
yang dijelajahi para pendaki.”
Ia mulai tabah kini
justru di saat cermin hendak merebut
dan mengurung tubuhnya.
“Serahkan. Kau akan kurangkum,
kukuasai seluruhnya.”
Ia ingin masih cantik
di saat langit di dalam cermin berangsur luruh.
Hatinya semakin dekat
kepada yang jauh.
(1995)
Bayi di dalam kulkas lebih bisa mendengarkan
pasang-surutnya angin, bisu-kelunya malam
dan kuncup-layunya bunga-bunga di dalam taman.
Dan setiap orang yang mendengar tangisnya
mengatakan: “Akulah ibumu. Aku ingin menggigil
dan membeku bersamamu.”
“Bayi, nyenyakkah tidurmu?”
“Nyenyak sekali, Ibu. Aku terbang ke langit
ke bintang-bintang ke cakrawala ke detik penciptaan
bersama angin dan awan dan hujan dan kenangan.”
“Aku ikut. Jemputlah aku, Bayi.
Aku ingin terbang dan melayang bersamamu.”
Bayi tersenyum, membuka dunia kecil yang merekah
di matanya, ketika Ibu menjamah tubuhnya
yang ranum, seperti menjamah gumpalan jantung dan hati
yang dijernihkan untuk dipersembahkan di meja perjamuan.
“Biarkan aku tumbuh dan besar di sini, Ibu.
Jangan keluarkan aku ke dunia yang ramai itu.”
Bayi di dalam kulkas adalah doa yang merahasiakan diri
di hadapan mulut yang mengucapkannya.
(1995)
Boneka monyet itu mengajakku bermain ke rumahnya.
Di sana telah menunggu siamang, orangutan, simpanse,
gorila, lutung dan bermacam-macam kera lainnya.
“Kenalkan, ini saudara-saudaramu juga,” monyet berkata.
“Kita mau bikin pesta kangen-kangenan sambil arisan.”
Aku ingin segera minggat dari rumah jahanam itu,
tapi monyet brengsek itu cepat-cepat menggamit lenganku.
“Jangan terburu-buru. Kita foto bersama dululah.”
Kami pun berpotret bersama.
Monyet menyuruhku berdiri paling tengah.
“Kau yang paling ganteng di antara kami,” siamang berkata.
“Siapa yang paling lucu di antara kita?” monyet bercanda.
“Yang di tengah,” lutung berkata.
“Ia tampak kusut dan murung karena bersikeras hidup
di alam nyata,” gorila berkata. Mereka semua tertawa.
(1996)
Rumah itu sudah lama ditinggalkan pemiliknya.
Ia minggat begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun
kepada boneka-boneka kesayangannya.
“Mungkin ia sudah bosan dengan kita,” gajah berkata.
“Mungkin sudah hijrah ke lain kota,” anjing berkata.
“Mungkin pulang ke kampung asalnya,” celeng berkata.
“Jangan-jangan sudah mampus,” singa berkata.
“Ah, ia sedang nonton dangdut di kuburan,” monyet berkata.
“Siapa tahu ia tersesat di tanah leluhur kita,” yang lain berkata.
Mereka kemudian sepakat mengurus rumah itu
dan menjadikannya suaka margasatwa.
Pemilik rumah itu akhirnya pulang juga.
Ia masuk begitu saja, namun boneka macan yang perkasa
dan menyeramkan itu menyergahnya.
“Maaf, Anda siapa ya?”
“Lho, ini kan rumahku sendiri.”
“Bercanda ya? Rasanya kami tak mengenal Anda.
Mungkin Anda salah alamat. Sebaiknya Anda segera pergi
sebelum kami telanjangi dan kami seret ke alam mimpi.”
(1996)
Setelah terusir dan terlunta-lunta di negerinya sendiri,
pelarian itu akhirnya diterima oleh sebuah keluarga boneka.
“Kami keluarga besar yang berasal dari berbagai suku bangsa.
Kami telah menciptakan adat istiadat menurut cara kami
masing-masing, hidup damai dan merdeka
tanpa menghiraukan lagi asal-usul kami.
Anda sendiri, Tuan, datang dari negeri mana?”
“Saya datang dari negeri yang pemimpin dan rakyatnya
telah menyerupai boneka. Saya tidak betah lagi tinggal
di sana karena saya ingin tetap menjadi manusia.”
Keluarga boneka itu tampak bahagia. Mereka berbicara
dan saling mencintai dengan bahasa mereka masing-masing
tanpa ada yang merasa dihina dan disakiti.
Lama-lama si pembuat boneka itu merasa asing
dan tak tahan menjadi bahan cemoohan makhluk-makhluk
ciptaannya sendiri. Ia terpaksa pulang ke negeri asalnya
dan mencoba bertahan hidup di dunia nyata.
(1996)
Ia telah mendapatkan celana idaman
yang lama didambakan, meskipun untuk itu
ia harus berkeliling kota
dan masuk ke setiap toko busana.
Ia memantas-mantas celananya di cermin
sambil dengan bangga ditepuk-tepuknya
pantat tepos yang sok perkasa.
“Ini asli buatan Amerika,” katanya
kepada si tolol yang berlagak di dalam kaca.
Ia pergi juga malam itu, menemui kekasih
yang menunggunya di pojok kuburan.
Ia pamerkan celananya: “Ini asli buatan Amerika.”
Tapi perempuan itu lebih tertarik
pada yang bertengger di dalam celana.
Ia sewot juga: “Buka dan buang celanamu!”
Pelan-pelan dibukanya celananya yang baru,
yang gagah dan canggih modelnya,
dan mendapatkan burung
yang selama ini dikurungnya
sudah kabur entah ke mana.
(1996)
Ketika sekolah kami sering disuruh menggambar celana
yang bagus dan sopan, tapi tak pernah diajar melukis
seluk-beluk yang di dalam celana, sehingga kami pun tumbuh
menjadi anak-anak manis yang penakut dan pengecut,
bahkan terhadap nasib kami sendiri.
Karena itu kami suka usil dan sembunyi-sembunyi
membuat coretan dan gambar porno di tembok kamar mandi
sehingga kami pun terbiasa menjadi orang-orang
yang suka cabul terhadap diri sendiri.
Setelah loyo dan jompo, kami mulai bisa berfantasi
tentang hal-ihwal yang di dalam celana:
ada raja kecil yang galak dan suka memberontak;
ada filsuf tua yang terkantuk-kantuk merenungi
rahasia alam semesta;
ada gunung berapi yang menyimpan sejuta magma;
ada juga gua garba yang diziarahi para pendosa
dan pendoa.
Konon, setelah berlayar mengelilingi bumi, Columbus pun
akhirnya menemukan sebuah benua baru di dalam celana
dan Stephen Hawking khusyuk bertapa di sana.
(1996)
Ia ingin membeli celana baru
buat pergi ke pesta
supaya tampak lebih tampan
dan meyakinkan.
Ia telah mencoba seratus model celana
di berbagai toko busana
namun tak menemukan satu pun
yang cocok untuknya.
Bahkan di depan pramuniaga
yang merubung dan membujuk-bujuknya
ia malah mencopot celananya sendiri
dan mencampakkannya.
“Kalian tidak tahu ya
aku sedang mencari celana
yang paling pas dan pantas
buat nampang di kuburan.”
Lalu ia ngacir
tanpa celana
dan berkelana
mencari kubur ibunya
hanya untuk menanyakan:
“Ibu, kausimpan di mana celana lucu
yang kupakai waktu bayi dulu?”
(1996)
Bantal, guling, selimut berpamitan kepada ranjang.
“Ibu yang penyayang, sudah sekian lama
kami membantu Ibu mengasuh anak-anak terlantar
dan sebatang kara, memberi mereka tempat terindah
buat bercinta, dan merawat mereka ketika sudah pikun
dan tak berdaya. Kini saatnya kami harus pergi
meninggalkan kisah yang penuh misteri.”
“Memang sekali waktu kita perlu istirah.
Aku sendiri pun sangat lelah.
Aku akan pergi juga, ziarah ke asal-muasal kisah cinta
yang melahirkan dongengan panjang penuh rahasia.”
Demikianlah di subuh yang hening itu kami pergi
ke pelabuhan, melepas ranjang kami yang tua berangkat
berlayar ke laut yang luas dan terang.
Waktu dan usia seperti perjalanan sebuah doa
ketika ranjang kami yang reyot dan renta
bergoyang-goyang bagai tongkang, bagai keranda.
Terhuyung-huyung dan terbata-bata
mencari tanah pusaka yang jauh di seberang sana.
(1996)
Darah berceceran di atas ranjang.
Jejak-jejak kaki pemburu membawa kami
tersesat di tengah hutan.
Siapakah korban yang telah terbantai
di malam yang begini tenang dan damai?
Terdengar jerit lengking perempuan yang terluka
dan gagak-gagak datang menjemput ajalnya.
Tapi perempuan anggun itu tiba-tiba muncul
dari balik kegelapan
dan dengan angkuh dilemparkannya
bangkai pemburu yang malang.
“Beginilah jika ada yang lancang mengusik
jagad mimpiku yang tenteram.
Hanya aku penguasa di wilayah ranjang.”
(1996)
Ranjang meminta kembali tubuh
yang pernah dilahirkan dan diasuhnya
dengan sepenuh cinta.
“Semoga anakku yang pemberani,
yang jauh merantau ke negeri-negeri igauan,
menemukan jalan untuk pulang;
pun jika aku sudah lapuk dan karatan.”
Tapi tubuh sudah begitu jauh mengembara.
Kalaupun sesekali datang, ia datang
hanya untuk menabung luka.
Dan ketika akhirnya pulang
ia sudah mayat tinggal rangka.
Bagai si buta yang renta dan terbata-bata
ia mengetuk-ngetuk pintu: “Ibu!”
Ranjang yang demikian tegar lagi penyabar
memeluknya erat: “Aku rela jadi keranda untukmu.”
(1996)
Kami tiba larut malam.
Ranjang telah terbakar
dan api yang menjalar ke seluruh kamar
belum habis berkobar.
Di atas puing-puing mimpi
dan reruntuhan waktu
tubuh kami hangus dan membangkai
dan api siap melumatnya
menjadi asap dan abu.
Kami sepasang mayat
ingin kekal berpelukan dan tidur damai
dalam dekapan ranjang.
(1996)
Ranjang telah dibersihkan.
Kain serba putih telah dirapihkan.
Laut telah dihamparkan.
Kayuhlah perahu ke teluk persinggahan.
Sampai di seberang
tubuhmu tinggal tulang-belulang
dan perahumu tertatih-tatih sendirian
pulang ke haribaan ranjang.
Ranjang telah dibersihkan.
Laut telah disenyapkan.
Ombak telah diredakan.
Tapi kau tak kunjung pulang.
Mungkin tubuhmu enggan dikubur
di kesunyian ranjang.
(1996)
Jauh nian perjalanan di atas ranjang
padahal resah cuma berkisar
dalam pusaran arus gelombang.
Kaudaki puncak risau dalam galau malam
namun selalu kandas dihadang
konspirasi kecemasan.
Memang harus sabar dan tawakal
meniti birokrasi kematian.
Lantas laut mencampakkan kau ke pelabuhan.
Kauseret bangkai kapal yang terbakar
ke pantai gersang.
Kau terhempas kembali ke dataran lengang,
menyusuri rute panjang kelahiran.
Kau mengambang, melayang
seperti bayi terlelap
dalam ayunan ranjang.
(1996)
untuk Ahmad Syubannuddin Alwy
Tubuhnya kuyup diguyur hujan.
Rambutnya awut-awutan dijarah angin malam.
Tapi enak saja ia nongkrong, mengangkang
seperti ingin memamerkan kecantikan:
wajah ranum yang merahasiakan derita dunia;
leher langsat yang menyimpan beribu jeritan;
dada montok yang mengentalkan darah dan nanah;
dan lubang sunyi, di bawah pusar,
yang dirimbuni semak berduri.
Dan malam itu datang seorang pangeran
dengan celana komprang, baju kedodoran, rambut
acak-acakan. Datang menemui gadisnya yang lagi kasmaran.
“Aku rindu Mas Alwy yang tahan meracau seharian,
yang tawanya ngakak membikin ranjang reyot
bergoyang-goyang, yang jalannya sedikit goyah
tapi gagah juga. Selamat malam, Alwy.”
“Selamat malam, Kitty. Aku datang membawa puisi.
Datang sebagai pasien rumah sakit jiwa dari negeri
yang penuh pekik dan basa-basi.”
Ini musim birahi. Kupu-kupu berhamburan liar
mencecar bunga-bunga layu yang bersolek di bawah
cahaya merkuri. Dan bila situasi politik memungkinkan,
tentu akan semakin banyak yang gencar bercinta
tanpa merasa waswas akan ditahan dan diamankan.
“Merapatlah ke gigil tubuhku, penyairku.
Ledakkan puisimu di nyeri dadaku.”
“Tapi aku ini bukan binatang jalang, Kitty.
Aku tak pandai meradang, menerjang.”
Sesaat ada juga keabadian. Diusapnya pipi muda,
leher hangat, dan bibir lezat yang terancam kelu.
Dan dengan cinta yang agak berangasan diterkamnya
dada yang beku, pinggang yang ngilu, seperti luka
yang menyerahkan diri kepada sembilu.
“Aku sayang Mas Alwy yang matanya beringas
tapi ada teduhnya. Yang cintanya ganas tapi ada lembutnya.
Yang jidatnya licin dan luas, tempat segala kelakar
dan kesakitan begadang semalaman.
Tapi malam cepat habis juga ya. Apa boleh buat,
mesti kuakhiri kisah kecil ini saat engkau terkapar
di puncak risau. Maaf, aku tak punya banyak waktu
buat bercinta. Aku mesti lebih jauh lagi mengembara
di papan-papan iklan. Tragis bukan, jauh-jauh datang
dari Amerika cuma untuk jadi penghibur
di negeri orang-orang kesepian?”
“Terima kasih, gadisku.”
“Peduli amat, penyairku.”
(1996)
Yang ditunggu belum juga datang. Tapi masih digenggamnya
surat terakhir yang sudah dibaca berulang. “Aku pasti pulang
pada suatu akhir petang. Tentu dengan bunga plastik
yang kauberikan saat kau mengusirku sambil menggebrak pintu:
‘Minggat saja kau, bajingan. Aku akan selamanya di sini,
di rumah yang terpencil di sudut kenangan.’”
Belum sudah ia bereskan resahnya. Tapi malam buru-buru
mengingatkan: “Kau sudah telanjang, kok belum juga mandi
dan berdandan.” Maka ia pun lekas berdiri dan dengan berani
melangkah ke kamar mandi. “Aku mau bersih-bersih dulu.
Aku mau berendam semalaman, menyingkirkan segala
yang berantakan dan berdebu di molek tubuhku.”
Dan suntuklah ia bekerja, membangun kembali keindahan
yang dikira bakal cepat sirna:
kota tua yang porak poranda pada wajah
yang mulai kumal dan kusam;
langit kusut pada mata yang memancarkan
cahaya redup kunang-kunang;
hutan pinus yang meranggas pada rambut
yang mulai pudar hitamnya;
padang rumput kering pada ketiak
yang kacau baunya;
bukit-bukit keriput pada payudara yang sedang
susut kenyalnya;
pegunungan tandus pada pinggul dan pantat
yang mulai lunglai goyangnya;
dan lembah duka yang menganga antara perut dan paha.
Benar-benar pemberani. Tak gentar ia pada sepi
dan gerombolannya yang mengancam lewat lolong anjing
di bawah hujan. Ada suara memanggil pelan.
Ada cermin besar hendak merebut sisa-sisa kecantikan.
Ada juga yang mengintip diam-diam sambil terkagum-kagum:
“Wow, gadisku yang rupawan tambah montok dan menawan.
Aku ingin mengajaknya lelap dalam hangat pertemuan.”
“Ah, dasar bajingan. Kau cuma ingin mencuri kecantikanku.
Kau memang selalu datang dan pergi tanpa setahuku.
Masuklah kalau berani. Pintunya sengaja tak aku kunci.”
Tak ada sahutan. Cuma ada yang cekikikan
dan terbirit-birit pergi seperti takut segera ketahuan.
“Baiklah, kalau begitu, permisi. Permisi cermin.
Permisi kamar mandi. Permisi gunting, sisir, bedak, lipstik,
minyak wangi dan kawan-kawan. Aku sekarang mau tidur, ngorok.
Aku mau terbang tinggi, menggelepar, dalam jaring melankoli.”
Sesudah itu ia sering mangkal di kuburan,
menunggu kekasihnya datang. Tentu dengan setangkai
kembang plastik yang dulu ia berikan.
(1996)
untuk Linus Suryadi AG
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam mulai merambat ke leher,
encok menyayat-nyayat punggung dan pinggang.
Dan angin pantai Jepara yang kering
berjingkat pelan di alis yang tenang;
di pelupuknya anak-anak kesunyian
ingin lelap berbaring, ingin teduh dan tenteram.
“Terimalah salam damaiku
lewat angin laut yang kencang, dinda.
Resah tengah kucoba.
Sepi kuasah dengan pena.
Kaudengarkah suara gamelan
tak putus-putusnya dilantunkan
di pendapa agung yang dijaga
tiang-tiang perkasa
hanya untuk mengalunkan
tembang-tembang lara?
Kaudengarkah juga
derap kereta di jauhan
datang melaju ke arah jantungku.”
Kereta api hitam berderap membelah malam,
melintasi hamparan kelabu perkebunan tebu.
Kesedihan diangkut ke pabrik-pabrik gula,
di belakangnya perempuan-perempuan pemberani
berduyun-duyun mengusung matahari.
“Perahu-perahu kembara, dinda,
telah kulepas dari pantai Jepara.
Berlayarlah tahun-tahunku, mimpi-mimpiku
ke gugusan hijau pulau-pulau Nusantara.
Berlayarlah ke negeri-negeri jauh,
ke Nederland sana.
Seperti kukatakan pada Ny. Abendanon
dan Stella: ingin rasanya aku
menembus gerbang cakrawala.”
Raden Ajeng Kartini terbatuk-batuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Tangan masih menyurat di atas kertas.
Hati melemas pada berkas-berkas cemas.
Angin merambat lewat kain dan kebaya.
Dingin merayap hingga sanggulnya.
Dan anak-anak kesunyian bergelayutan
pada bulu matanya yang sayup,
yang mengungkai cahaya redup.
“Sering kubayangkan, dinda,
perempuan-perempuan perkasa
berbondong-bondong menyunggi matahari,
menggendong bukit-bukit tandus
di gugusan pegunungan seribu
menuju hingar-bingar pasar palawija
di keheningan langit Jogja.
Kubayangkan pula
ladang-ladang karang
dirambah, disiangi
kaki-kaki telanjang
dengan darah sepanjang zaman.”
Kereta api hitan berderap membelah malam,
membangunkan si lelap dari tidur panjang.
Jari masih menulis bersama gerimis,
bersama angin dan kenangan.
Di telapak tangannya perahu-perahu dilayarkan
ke daratan-daratan hijau, negeri-negeri jauh
tak terjangkau.
“Badai, dinda,
badai menyerbu ke atas ranjang.
Kaudengarkah kini biduk mimpiku
sebentar lagi karam
di laut Rembang?”
Raden Ajeng Kartini terkantuk-kantuk
di bawah cahaya lampu remang-remang.
Demam membara, encok meruyak pula.
Dan sepasang alap-alap melesat
dari ujung pena yang luka.
(1997)
untuk GM
Tuhan datang malam ini
di gudang gulita yang cuma dihuni cericit tikus
dan celoteh sepi.
Ia datang dengan sebuah headline yang megah:
“Telah kubredel ketakutan dan kegemetaranmu.
Kini bisa kaurayakan kesepian dan kesendirianmu
dengan lebih meriah.”
Dengar, Tuhan melangkah lewat dengan sangat gemulai
di atas halaman-halaman yang hilang
dan rubrik-rubrik terbengkelai.
Malam menebar debar.
Di sebuah kolom yang rindang, kolom yang teduh
ia kumpulkan huruf-huruf yang cerai-berai
dan merangkainya menjadi sebuah komposisi kedamaian.
Namun masih juga ia cabar:
“Kenapa ya aku masih kesepian.
Seakan tak bisa damai tanpa suara-suara riuh
dan kata-kata gaduh.”
“Mungkin karena kau terlampau terikat
pada makna yang berkelebat sesaat,”
demikian seperti telah ia temukan jawaban.
Begitulah, ia hikmati malam yang cerau
dan mencoba menghalau galau dan risau.
Dibetulkannya rambut ranggas yang menjuntai
di atas dahi nan pasai.
Dibelainya kumis kusut dan cambang capai
yang menjalar di selingkar sangsai.
Sementara di luar hujan dan angin berkejaran
menggelar konvoi kemurungan.
Lalu diambilnya pena, dicelupkannya pada luka
dan ditulisnya:
Saya ini apalah Tuhan.
Saya ini cuma jejak-jejak kaki musafir
pada serial catatan pinggir;
sisa aroma pada seonggok beha;
dan bau kecut pada sisa cinta.
Saya ini cuma cuwilan cemas kok Tuhan.
Saya ini cuma seratus hektar halaman suratkabar
yang habis terbakar;
sekeping puisi yang terpental
dilabrak batalion iklan.
Dan Tuhan datang malam ini
di gudang gelap, di bawah tanah, yang cuma dihuni
cericit tikus dan celoteh sepi.
Ia datang bersama empat ribu pasukan,
lengkap dengan borgol dan senapan.
Dengar, mereka menggedor-gedor pintu dan berseru:
“Jangan halangi kami. Jangan lari dan sembunyi.
Kami cuma orang-orang kesepian.
Kami ingin bergabung bersama Anda
di sebuah kolom yang teduh, kolom yang rindang.
Kami akan kumpulkan senjata
dan menyusunnya jadi sebuah komposisi kebimbangan.
Sesudah itu perkenankan kami sita dan kami bawa
semua yang Anda punya, sungguhpun cuma
berkas-berkas tua dan halaman-halaman kosong semata.”
Tuhan, mereka sangat ketakutan.
Antarkan mereka ke sebuah rubrik yang tenang.
(1997)
untuk ND
Sudah sekian tahun mayatku hilang.
Ngelayap ke mana saja dia ya, kok belum juga pulang.
“Tenang saja. Aku cuma mau iseng cari hiburan,
nonton komedi manusia di kebun binatang.”
Begitu ia dulu pamitan.
Pernah kutanyakan pada petugas jawatan penculikan:
“Di manakah mayat saya disimpan?”
Jawabnya: “Mayatmu masih kami sekap
dalam sebuah dokumen rahasia negara.”
“Bolehkah saya bicara dengannya sebentar?”
“Tidak bisa. Dia tak akan kami lepas sebelum melengkapi
berkas-berkas identitas: surat, kartu, dan asal-usul yang jelas.”
Ada juga yang bilang: “Lho, ‘kan mayatmu sedang jalan-jalan.
Mondar-mandir mencari jejakmu. Mengapa kau selalu
menghindar dan menjauh dari kenangan?”
Demikianlah, ceritanya, kami saling kehilangan.
Selalu bersilang langkah, berselisih jalan
di simpang ingatan di sebuah entah
yang senisbi waktu dan selindap ruang.
Sampai suatu malam seseorang datang dalam kuyup hujan,
membuka pintu, menyibak bayang.
“Mayatmu kutemukan di sudut halaman koran yang teronggok
di bak sampah di depan kantor departemen pembredelan.”
“Siapakah engkau, perempuan?” aku bertanya.
“Aku seseorang atau sesuatu dari masa silam.”
Setelah menyerahkan mayatku ke dalam pelukan,
ia pun menghilang ke balik halusi.
Tapak-tapak kakinya, jejak-jejak darahnya
seakan adalah sakramen: perjalanan panjang sonyaruri
ke sebuah getsemani.
“Coba ceritakan apa yang sesungguhnya terjadi.
Siapa sesungguhnya perempuan yang mengantarmu ke sini?”
“Jangan. Jangan sekarang. Aku masih dalam intaian mata-mata
yang bersembunyi di sini, di bekas luka ini.”
Kudekap ia, kubaringkan dalam album keluarga.
“Jangan nakal. Tidurlah dengan sopan
sampai tiba saatnya nanti kaukisahkan semua ini.”
(1997)
Malam itu kita pergi kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Malam sudah sangat larut.
Sudah sangat panas pestanya.
Di dalam rumah banyak tamu asing
lagi asyik main kuda lumping.
Pengantin mengenakan topeng monyet,
duduk mengangkang di pelaminan.
“Selamat kawin, saudara kembar,”
kita ucapkan salam.
“Selamat datang, calon jerangkong,”
sambutnya riang.
Kau terkekeh dan lalu terkenang
melihat potretmu di dinding ruang
lagi meringis dalam gendongan.
“Dia si anak hilang,” pengantin
menjelaskan.
Malam itu kita kondangan.
Naik andong kehujanan,
kudanya lari kencang:
kling klong kling klong.
Kita melaju, melenggang
dalam sengkarut ingatan.
(1997)
untuk kartu pos S
Rumah yang ditinggalkan semalaman masih menyala
terang benderang, sebab ia ingin setiap orang
yang lewat di depannya bilang: “Lihat, perempuan kita
masih mencangkung di depan jendela, menghadap langit,
menghadap waktu, menghadap usia.
Ia pulang dinihari sehabis hujan dan angin pergi.
Ia tendang pintu yang pura-pura membisu.
Dan kepada cermin yang bergoyang di pojok ruangan
ia bicara: “Tadi selusin lelaki mau menciumku,
tapi kuterkam saja dengan geramku,
semuanya lari tunggang langgang.”
Ia pulang dinihari ketika bulan belum mau pergi.
Ia menyanyi, ia menari, dan sambil berlenggok
masuk ke kamar, gemetar melihat seseoerang
sedang mendengkur dengan gempar.
“Bukankah kau yang semalam kucumbu di kuburan?
Sialan. Ternyata kau mendahuluiku terkapar
di ranjang yang tak lama lagi akan terbakar.”
Lantas ia berhias dan bergegas ke sebuah cemas.
“Kau istirahat dulu ya, mayat. Santai-santai saja di sini.
Aku ada dinas sebentar ke rumah sakit jiwa. Kalau nanti
terbangun dan takut sendirian, teleponlah aku secepatnya.”
(1997)
untuk AM
Si kecil yang suka makan es krim itu sudah besar
dan perawan, sudah tidak pemalu dan ingusan.
Ia gemar melucu dan pintar juga menggodamu.
“Kau penyair ya? Kutahu itu dari kepalamu
yang botak dan licin seperti semangka.”
Kau tergoda dan ingin lebih lama terpana
ketika matanya mengerjap dan bulan muncrat
di atas rambutnya yang hitam pekat.
Malam heboh sekali.
Orang-orang mulai resah menunggu kereta.
“Perempuan, kau mau ikut?”
“Emoh ah,” katanya.
Kereta sudah siap.
Para pelayat berjejal di dalam gerbong
sambil melambai-lambaikan bendera.
“Perempuan, ikutlah bersama kami.
Kita akan pergi menyambut revolusi.”
“Ah, revolusi. Revolusi telah kulipat
dan kuselipkan ke dalam beha.”
“Lancang benar ia. Berani menantang kita
dengan senyumnya yang sangat subversif.
Ia sungguh berbahaya.”
Lonceng terakhir telah selesai menyanyikan
“Sepasang Mata Bola”. Tinggallah malam
yang redam, langit yang diam.
Tinggallah airmata yang menetes pelan
ke dalam segelas bir yang menempel pada dada
yang setengah terbuka, setengah merdeka.
(1997)
Masih ada sebuah rumah di sana
yang tak pernah mengharap seseorang
datang mengunjunginya.
Masih ada dinding-dinding kusam,
ruang bersih terang, jendela-jendela putih
tempat senja berpendaran
dengan rambutnya yang keemasan.
Masih ada si kecil lagi asyik menggambar
pada tembok penuh coretan.
“Semalam hujan singgah sebentar,
dan setelah meninggalkan riciknya di kulkas itu
ia pun berangkat ke sebuah kota yang jauh.”
Ingin kupeluk dan kucium parasnya yang lucu,
tapi tak ingin dunia kecilnya kusintuh.
“Lihat, aku sedang melukis laut, gerimis
dan perahu oleng yang dikayuh nelayan kecil
menuju pantai yang teduh.”
Masih. Masih ada seseorang sedang duduk
membungkuk di bawah redup cahaya,
khusyuk membaca berkas-berkas tua.
“Semalam si mayat datang dengan baju baru.
Ia titipkan salam manisnya untukmu.”
Ingin kutrima batuknya dalam paru-paruku
tapi tak ingin kusintuh kantuknya, rindunya
sebab hatinya lebih tegar dari waktu.
“Maaf, aku sedang membaca surat-surat
yang telah lama kutulis, tapi tak pernah
kukirim karena tak kutahu alamatmu.”
(1997)
untuk NAF
Januari yang lusuh datang padaku
dengan wajah putih kelabu.
“Beri aku tempat perlindungan.
Musim begitu rusuh.
Bahaya mengancam dari segala jurusan.”
Hujan yang basah kuyup tubuhnya
kuungsikan ke dalam botol bersama kilat,
guruh dan ledakan-ledakan petirnya.
Angin yang menggigil kedinginan
kusembunyikan ke dalam gelas
bersama desah, desau dan desirnya.
Semoga sekalian kata dan makna
yang kuziarahi bertahun-tahun lamanya
ikhlas menerima cobaan yang tiada putusnya
sebab memang begitu jauh
jarak perjalanan di antara mereka.
Semoga sekalian luka dan sembilu
yang tak henti-henti meruyaknya
tidak saling sayat dan sakit hati
justru karena demikian dalam percintaan
di antara keduanya.
Januari yang lusuh datang padaku
seperti doa yang rela bersekutu
dengan sekalian kata dan ucapan
yang sering gagap dan gagu.
(1997)
Masih pagi sekali, Bapak Guru sudah siap di kelas.
Kepalanya yang miskin dan merana terkantuk-kantuk,
kemudian terkulai di atas meja.
Kami, anak-anak yang bengal dan nakal, beriringan masuk
sambil mengucapkan: “Selamat pagi, Bapak Guru.”
Bapak Guru tambah nyenyak. Dengkur dan air liurnya
seakan mau mengatakan: “Bapak sangat lelah.”
Hari itu mestinya pelajaran Sejarah. Bapak Guru telah berjanji
menceritakan kisah para pahlawan yang potretnya terpampang
di seluruh ruang. Tapi kami tak tega membangunkannya.
Kami baca di papan tulis: “Baca halaman 10 dan seterusnya.
Hafalkan semua nama dan peristiwa.”
Sudah siang, Bapak Guru belum juga siuman.
Hanya rits celananya yang setengah terbuka
seakan mau mengatakan: “Bapak habis lembur semalam.”
Ada yang cekikikan. Ada yang terharu dan mengusap matanya
yang berkaca-kaca. Ada pula yang lancang membelai-belai
gundulnya sambil berkata: “Kasihan kepala
yang suka ikut penataran ini.”
Sekian tahun kemudian kami datang mengunjungi
seorang sahabat yang sedang tidur di dalam makam
di bekas lahan sekolah kami. Kami lihat seorang lelaki tua
terbungkuk-bungkuk membukakan pintu kuburan.
“Silakan,” katanya.
“Dia Pak Guru kita itu!” temanku berseru.
“Kau ingat rits celananya yang setengah terbuka?”
“Tenang. Jangan mengusik ketenteramannya,”
aku memperingatkan.
“Dia pasti damai dan bahagia di tempat yang begini bersih
dan tenang,” kata temanku sambil menunjuk nisan sahabatnya.
“Kelak aku juga ingin dikubur di sini,” sambungnya.
“Ah, jangan berpikir yang bukan-bukan,” timpalku.
Sementara si penjaga kuburan yang celananya congklang
dan rambutnya sudah memutih semua diam-diam
mengawasi kami dari balik pohon kamboja.
(1997)
Kau pusing
seharian keluar-masuk toko mainan
hanya untuk mendapatkan boneka lucu
yang akan kaugantung di atas ranjang.
Padahal di dalam celana
ada boneka paling jenaka
: boneka kecil yang sering tiba-tiba
menjelma raksasa.
Kau bilang
boneka mungilmu suka keluyuran
ke kebun binatang, ke suaka margasatwa,
ke hutan yang banyak hewan liarnya,
katanya untuk bermain dengan teman-temannya.
Kau sudah memanjakannya
dengan berbagai model celana
yang mahal harganya
tapi ia selalu lolos dan tak pernah
krasan tinggal di dalamnya.
“Sumpek dan penuh aturan,” katanya.
Konon raksasa kecil itu
telah menjadi seorang tiran.
Telah diproklamasikannya sebuah republik
dan kau sendiri rela dinobatkan
sebagai pengawalnya.
“Siapkan pasukan!” kata sang tiran.
“Akan kuserbu musuh-musuh
yang merongrong kekuasaan.”
“Siap Paduka,” timpal pengawal.
“Akan hamba tumpas para perusuh
yang mengancam kedaulatan.”
Di republik celana
tiran yang sangat kejam dan pendendam itu
sekarang telah menjadi raja telanjang
yang tua-renta dan sakit-sakitan.
Sehari-hari ia cuma duduk terkantuk-kantuk
di kursi goyang
sambil mulutnya komat-kamit
dan kepalanya menggeleng ke kanan ke kiri
tapi batuknya masih dianggap sakti.
Pengawal: “Kalau Paduka sudah lelah
dan hendak istirah, silakan.
Hamba bersedia menggantikan Paduka
duduk di tampuk kekuasaan.”
Di sebuah toko mainan
kaudapatkan juga boneka lucu
yang kauinginkan; kaugantungkan di atas ranjang
sehingga kau tidak lagi kesepian.
Dan boneka jenaka di dalam celanamu cemburu
karena merasa telah mendapatkan saingan.
(1997)
Kata-kata adalah kurcaci yang muncul tengah malam
dan ia bukan pertapa suci yang kebal terhadap godaan.
Kurcaci merubung tubuhnya yang berlumuran darah
sementara pena yang dihunusnya belum mau patah.
(1998)
Iring-iringan panser mondar-mandir di jalur-jalur rawan
di seantero sajakku. Di sebuah sudut yang agak gelap
komandan melihat kelebat seorang demonstran
yang gerak-geriknya dianggap mencurigakan.
Pasukan disiagakan dan diperintahkan untuk memblokir
setiap jalan. Semua mendadak panik. Kata-kata kocar-kacir
dan tiarap seketika. Komandan berteriak: “Kalian sembunyikan
di mana penyair kurus yang tubuhnya seperti jerangkong itu?
Pena yang baru diasahnya sangat tajam dan berbahaya.”
Seorang peronda memberanikan diri angkat bicara:
“Dia sakit perut, Komandan, lantas terbirit-birit
ke dalam kakus. Mungkin dia lagi bikin aksi di sana.”
“Sialan!” umpat komandan geram sekali, lalu memerintahkan
pasukan melanjutkan patroli. Di huruf terakhir sajakku
si jerangkong itu tiba-tiba muncul dari dalam kakus
sambil menepuk-nepuk perutnya. “Lega,” katanya.
Maka kata-kata yang tadi gemetaran serempak bersorak
dan merapatkan diri ke posisi semula.
Di kejauhan terdengar letusan, api sedang melahap
dan menghanguskan mayat-mayat korban.
(1998)
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari masih remang dan hujan, hujan
yang gundah sepanjang malam
menyirami jejak-jejak huruf yang bergegas pergi, pergi
berbasah-basah ke sebuah ziarah.
Bercak-bercak darah bercipratan di rerumpun aksara
di sepanjang via dolorosa.
Langit kehilangan warna, jerit kehilangan suara.
Sepasang perempuan (panggil: sepasang kehilangan)
berpapasan di jalan kecil yang tak dilewati kata-kata.
“Ibu hendak ke mana?” Perempuan muda itu menyapa.
“Aku akan cari dia di Golgota, yang artinya:
tempat penculikan,” jawab ibu yang pemberani itu
sambil menunjukkan potret anaknya.
“Ibu, saya habis bertemu Dia di Jakarta, yang artinya:
surga para perusuh,” kata gadis itu sambil bersimpuh.
Gadis itu Maria Magdalena, artinya: yang terperkosa.
Lalu katanya: “Ia telah menciumku sebelum diseret
ke ruang eksekusi. Padahal Ia cuma bersaksi
bahwa agama dan senjata telah menjarah
perempuan lemah ini.
Sungguh Ia telah menciumku dan mencelupkan jariNya
pada genangan dosa di sunyi-senyap vagina;
pada dinding gua yang retak-retak, yang lapuk;
pada liang luka, pada ceruk yang remuk.”
Minggu pagi di sebuah puisi kauberi kami kisah Paskah
ketika hari mulai terang, kata-kata telah pulang
dari makam, iring-iringan demonstran
makin panjang, para serdadu
berebutan kain kafan, dan dua perempuan
mengucapkan salam: Siapa masih berani menemani Tuhan?
(1998)
Pasar sentir. Tempatnya di bawah pohon beringin
di alun-alun kota kami yang kecil dan tenang.
Saya suka iseng main ke sana
mengamati tingkah seorang lelaki yang sering datang
menemui perempuan gembrot yang tawanya ngakak
dan mata-kucingnya selalu tampak membelalak
di antara kerumunan nyala lampu, jerit radio,
dan gemeremang suara orang-orang kesurupan.
Ia lelaki misterius. Kadang mengaku paranormal.
Kadang menyebut dirinya pelukis besar.
Tapi banyak yang bilang ia penyair yang gagal.
Ia suka minum, meracau, dan kalau mabuk
tubuhnya yang tambun terhuyung-huyung
kemudian ambruk di pangkuan perempuan gembrot
yang selalu sabar mendengarkan
bualan-bualannya yang gombal.
Malam itu ia bawa uang lima ribu buat beli jas merah
sebab ia akan pesiar ke tempat yang indah.
“Jas ini memang pas untukmu.
Cocok buat membajul atau cari gandengan,”
kata perempuan antik itu setengah menggoda,
tapi lelaki nyentrik itu pura-pura tak tergoda.
Terang bulan. Dengan jas bekas dan celana kolor hitam
ia bersiap pergi jalan-jalan cari hiburan.
“Malam sangat dingin, Pangeran. Mau melancong ke mana?”
“Aku mau cari jangkrik di kuburan.”
Sampai keesokan paginya lelaki itu masih tertidur pulas
di antara batu-batu nisan dengan bir di tangan
sambil mendengarkan bunyi jangkrik yang krakkrik-krakkrik
dalam celananya yang kedodoran.
Di lain tempat perempuan itu masih terbaring nyenyak
di atas tumpukan barang-barang dagangannya,
sementara lampu sentirnya masih menyala.
Malamnya ia sudah mangkal lagi di sana.
Dan perempuan bawel yang sangat kemayu itu
menyambutnya dengan senyum rahasia.
“Bunyi jangkrikmu terdengar juga dalam tidurku.”
Pasar sentir. Saya selalu kangen untuk mampir.
Saya anak jadah, calon penyair.
Saya tidak bilang bahwa lelaki tambun itu mungkin ayahku
dan perempuan gembrot itu mungkin ibuku.
(1998)
Ketika pulang, yang kutemu di dalam rumah
hanyalah ranjang bobrok, onggokan popok, bau ompol,
jerit tangis berkepanjangan, dan tumpukan mainan
yang tinggal rongsokan.
Di sudut kamar kulihat Ibu masih suntuk berjaga
menjahit sarung dan selimut yang makin meruyak koyaknya
oleh gesekan-gesekan cinta dan usia.
“Di mana Ayah?” aku menyapa dalam hening suara.
“Biasanya Ayah khusyuk membaca di bawah jendela.”
“Ayah pergi mencari kamu,” sahutnya.
“Sudah tiga puluh tahun ia meninggalkan Ibu.”
“Baiklah, akan saya cari Ayah sampai ketemu.
Selamat menjahit ya, Bu.”
Di depan pintu aku berjumpa lelaki tua
dengan baju usang, celana congklang.
“Kok tergesa,” ia menyapa.
“Kita mabuk-mabuk dululah.”
“Kok baru pulang,” aku berkata.
“Dari mana saja? Main judi ya?”
“Saya habis berjuang mencari anak saya,
tiga puluh tahun lamanya.
Sampeyan sendiri hendak ngeluyur ke mana?”
“Saya hendak berjuang mencari ayah saya.
Sudah tiga puluh tahun saya tak mendengar dengkurnya.”
Ia menatapku, aku menatapnya.
“Selamat minggat,” ujarnya sambil mencubit pipiku.
“Selamat ngorok,” timpalku sambil kucubit janggutnya.
Ia siap melangkah ke dalam rumah,
aku siap berangkat meninggalkan rumah.
Dan dari dalam rumah Ibu berseru: “Duel sajalah!”
(1998)
Hari sudah petang ketika maut tiba di ranjang.
Orang-orang partai yang mengantarnya ke situ
sudah bubar, bubar bersama para serdadu
yang mengalungkan kawat berduri di lehernya
dan membuang tubuhnya tadi siang.
Hanya ada seorang perempuan sedang sembahyang
berkerudung kain kafan
dan menggelarnya bagi raga yang capai.
“Bapa, belum selesai. Entah kapan saya sampai.”
Hanya ia yang tawakal
menemani ajal,
menyiapkan pembaringan
buat tidur seorang pecundang:
warga tanpa negara, tanpa agama.
Hanya ia yang mendengar sekaratnya.
“Telah kuminum anggur
dari darah yang mancur.
Telah kucecap luka
pada lambung yang lapa.
Di tubuh Tuhan kuziarahi
peta negeri yang hancur.”
Maut sudah kosong
ketika mereka hendak menculik mayatnya.
Hanya ada seorang perempuan
sedang membersihkan salib di sudut ranjang.
“Ia sudah pergi ke kota,” katanya,
“dan kalian tak akan bisa lagi menangkapnya.”
(1998)
Tiba di ranjang, setelah lama menggelandang,
ia memasuki daerah terlarang.
Ranjang telah dikelilingi pagar kawat berduri
dan ada anjing galak siap menghalau pencuri.
“Kawasan Bebas Seks,” bunyi sebuah papan peringatan.
Tak terdengar lagi cinta. Tak terdengar lagi ajal
yang meronta pada tubuh yang digelinjang nafsu
dalam nafas yang mendesah ah, melenguh uh.
Memang ada yang masih bermukim di ranjang:
merawat ketiak, mengurus lemak, dan dengan membelalak
ia membentak: “Pergi! Tak ada seks di sini!”
“Kau kalah,” katanya. “Dulu kautinggalkan ranjang,
sekarang hendak kaurampas sisa cinta yang kuawetkan.”
“Tunggu pembalasanku,” timpalnya.
“Suatu saat aku akan datang lagi.”
“Kutunggu kau di sini,” ia menantang,
“akan kukubur jasadmu di bawah ranjang.”
Ia pun pergi meninggalkan daerah terlarang
dengan langkah seorang pecundang.
“Tunggu!” teriak seseorang dari dalam ranjang.
Tapi ia hanya menoleh sambil mengepalkan tangan.
(1998)
Pada suatu petang ia datang ke taman
yang terhampar hijau di atas ranjang.
Ia mencopot baju, menyalakan lampu
kemudian membaca buku di atas makam.
“Ini tempat suci. Dilarang membaca buku porno
di sini,” kata seseorang dari balik nisan.
Ia lari tunggang langgang sebelum sempat
mengenakan kembali pakaian.
Ia perempuan gila, dulu pernah memperkosa
Adam dan menghabisinya di atas ranjang.
(1998)
Ranjang bergoyang sepanjang malam.
Mungkin sepasang nyawa, sepasang singa
sedang tempur.
Atau sepasang maut sedang perang.
Ranjang bergoyang sepanjang malam.
Padahal cuma ada sepasang celana
teronggok putih di bantal hitam.
(1998)
Suatu malam roh musafir itu singgah,
hendak menginap di tubuhku.
Tubuh yang sudah beberapa lama terbaring sakit
menggeliat terperanjat.
“Aku tidak siap menerima tamu,” ucapnya lirih.
“Tuan, saya kemalaman,” tamu itu berkata.
“Bolehkah hamba numpang tidur dan istirah sebentar?”
“Tentu saya senang bisa mempersilakan Tuan bermalam
di tubuh hamba,” jawabku. “Tapi maaf, hamba
tak bisa kasih tempat yang nyaman. Tubuh hamba
sedang bobrok dan berantakan.”
“Jangan terlalu meninggikan hamba,” timpalnya.
“Bisa sekedar berbaring saja sudah cukup
membuat bahagia.”
Di tubuh yang sumpek dan temaram
tamu itu merapal doa sepanjang malam.
Doanya mencengkeram meremas-remas jantung
sampai darahku bergolak dan tubuhku tersentak:
“Aku takut mati!”
Tapi doanya tambah deras dan dencar
sampai tubuhku gemetar dan urat-urat darahku bergetar.
Sesudah itu tubuhku hening
hingga tiap denyut darah terdengar nyaring.
Pagi-pagi sekali tamu itu pamitan,
hendak melanjutkan perjalanan.
“Tidur hamba nikmat sekali semalam,” ia berkata.
“Terima kasih,” jawabku. “Saya harap suatu saat
Tuan berkenan singgah lagi di tubuh hamba. Hamba berjanji
akan sediakan tempat yang lapang dan nyaman.”
Lama aku menunggunya. Tapi ia tak kunjung datang.
(1999)
untuk SS
“Aku sekarang bisa pulang ke rumah,” kata temanku
dengan wajah berbinar-binar.
Lalu ia tunjukkan rumahnya yang baru, rumah yang besar,
yang halamannya luas tak berpagar.
“Bukan pulang, tapi singgah,” aku berkilah,
“sebab hanya kalau larut malam kau berumah,
sedang sebagian besar waktumu, jadwal hidupmu
kauhabiskan di sekian banyak entah.”
“Iyalah,” ia mengalah, dan dengan takjub kukagumi
arsitektur rumahnya yang langka dan spesial,
tampak sederhana tapi menggoda.
“Bertahun-tahun aku menabung kemiskinan
untuk membangun rumah ini,” kata temanku.
“Bukan kemiskinan, tapi kematian,” aku menyanggah.
“Iyalah,” ia kembali mengalah.
Ketika itu Jakarta hampir punah.
Seluruh pelosok telah habis dijarah
petualang-petualang kampung dari berbagai daerah.
Di mana-mana orang bikin gedung, pabrik, hotel, toko,
salon, kesenian, pemerintahan, panti pijat, warung gaul
sehingga untuk mukim kau harus cari kapling
di kompleks perumahan bawah tanah.
Temanku beruntung bisa bikin rumah besar di sebidang tanah
bekas kuburan Cina yang konon banyak jinnya.
Kujelajahi rumah temanku yang ada kolam renang
dan kolam ikannya.
Dinding-dindingnya penuh lukisan dan topeng.
“Jin tidak berani gentayangan di sini,” sindir temanku,
“sebab jin takut topeng, apalagi topengnya
lebih ganteng dari kamu.”
Wah, rumah temanku banyak benar kamarnya.
Di bagian depan, misalnya, ada kamar khusus
untuk tamu-tamu miskin dari luar kota yang datang
untuk sekadar numpang mandi, tidur, dan, tentu saja, makan.
Persis di bagian tengah tersedia sel tahanan,
lengkap dengan terali dan cahaya remang-remangnya.
“Siapa tahu ada seniman kriminal
tiba-tiba mengamuk di sini,” jelasnya.
Nun di pojok belakang ada kamar gelap yang dijaga
sepasang jerangkong, dirancang untuk kuburan.
“Kau anak jadah, sebatang kara. Kalau suatu saat kau mati
di Jakarta, biar kukubur kau di sini,” temanku bercanda.
Aku merinding, dan ia tunjukkan nisan coklat
yang belum diberi nama.
Masih banyak ruangan lain yang entah untuk apa.
Ada, konon, ruangan dingin buat bercinta,
tapi aku tak tahu di sebelah mana.
Ah, kurang apa rumah temanku.
Sayang si empunya jarang pulang, eh singgah.
Kalaupun singgah, ia lebih suka mendekam dan menulis
di dalam sel dan tak seorang pun bisa mengusiknya.
“Bahkan topeng pun tidak berani menggangguku,” katanya.
Seperti puisi, mungkin juga cinta, rumah temanku
jauh dan tersembunyi.
Tidak mudah menemukan alamatnya.
Kalaupun sampai, kemudian kubuka pintunya,
bisa saja aku lantas tersesat dan terkurung
dalam keluasannya.
Tapi aku selalu ingin singgah ke sana.
Teman, aku datang naik andong. Kling klong kling klong.
(1999)
Di bawah kibaran sarung anak-anak berangkat tidur
ke haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur yang baka.
Tidur yang dijaga dan disambangi seorang lelaki kurus
dengan punggung melengkung, mata yang dalam dan cekung.
“Hidup orang miskin!” pekiknya sambil membentangkan sarung.
“Hidup sarung!” seru seorang perempuan, sahabat malam,
yang tekun mendengarkan hujan. Lalu ia mainkan piano,
piano tua, di dada lelaki itu. “Simfoni batukmu, nada-nada
sakitmu, musik klasikmu, mengalun merdu sepanjang malam,”
hibur perempuan itu dengan mata setengah terpejam.
Di bawah kibaran sarung
rumah adalah kampung.
Kampung kecil di mana kau
bisa ngintip yang serba gaib:
kisah senja, celoteh cinta,
sungai coklat, dada langsat,
parade susu, susu cantik
dan pantat nungging
yang kausebut nasib.
Kampung kumuh di mana penyakit,
onggokan sampah, sumpah serapah,
mayat busuk, anjing kawin,
maling mabuk, piring pecah,
tikus ngamuk, timbunan tinja
adalah tetangga.
“Rumahku adalah istanaku,”
kata perempuan itu sambil terus
memainkan pianonya, piano tua,
piano kesayangan.
“Rumahku adalah kerandaku,”
timpal lelaki itu sambil terus
meletupkan batuknya, batuk darah,
batuk kemenangan.
Dan seperti keranda mencari penumpang
dari jauh terdengar suara andong
memanggil pulang. Kling klong kling klong.
Di bawah kibaran sarung
kutuliskan puisimu,
di rumah kecil yang dingin terpencil.
Seperti perempuan perkasa
yang betah berjaga
menemani kantuk, menemani sakit
di remang cahaya:
menghitung iga, memainkan piano
di dada lelaki tua
yang gagap mengucap doa.
Ya, kutuliskan puisimu
kulepaskan ke seberang
seperti kanak-kanak berangkat tidur
ke haribaan malam.
Ayo temui aku di bawah kibaran sarung
di tempat yang jauh terlindung.
(1999)
Sehabis merumput di atas kepalaku, selalu ia tanyakan:
“Mau dicukur rambut yang lain?” “Jangan,” aku katakan,
“nanti tak ada lagi rambut yang saya banggakan.”
Ia seorang veteran, tukang cukur yang intelek dan cekatan,
yang membiarkan rambutnya tumbuh panjang tak beraturan.
“Tukang cukur sejati tak akan memangkas
rambutnya sendiri,” katanya pasti.
Ia sudah bertahun-tahun di sana, di bawah pohon beringin
yang rimbun daunnya, di sebuah sunyi di sudut kotanya.
Ia sangat berpengalaman menangani berbagai macam kepala,
hafal merek dan isinya.
“Hanya di kepala bisa tumbuh berbagai jenis rambut,” katanya,
“sebab memang hanya kepala yang punya otak dan pikiran.”
Sambil membabat rumput liar di kepalaku ia lanjutkan:
“Ada sebuah tempat nun di pusat pergolakan di mana rambut
hanya bisa semrawut. Sebab makhluk yang berdiam di sana
memang tidak punya otak dan pikiran, hanya bisa diperintah
dan melaksanakan tindakan.”
Di meja kerjanya yang antik kulihat album besar berisi koleksi
berbagai model rambut dan kepala.
Ada gambar Yesus yang mulai botak kepalanya.
Ada gambar presiden yang tampak cabul kepalanya.
Ada pula gambar penyair yang kelihatan brutal rambutnya.
Malam itu aku datang lagi hendak menertibkan si kepala,
tapi ia tak ada di tempat tugasnya. “Ke mana tukang cukur saya?”
tanya saya kepada seseorang di situ.
“Katanya pergi sebentar hendak bercukur,” jawab orang
berkepala sederhana itu yang ternyata seorang mata-mata.
Di jalan pulang kulihat tukang cukur itu sedang diangkut
mobil patroli bersama seluruh peralatan kerjanya.
“Selamat malam Veteran,” aku menghormat.
Dan sang veteran tersenyum sambil memiring-miringkan
telunjuk tangannya di atas jidatnya.
(1999)
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Mereka duduk berdesakan menyaksikan pertunjukan film
layar lebar dengan bintang-bintangnya yang cantik dan segar.
Suasana begitu hingar. Suara-suara begitu bingar.
Setiap orang bebas bicara dan bertingkah, bikin gosip,
kabar kabur, colak-colek, clapclup, cicitcuit, berteriak cabul,
tanpa menghiraukan benar cerita yang sedang diputar.
Ada yang memilih mojok di bawah pohon beringin
sambil minum cendol dan bersayang-sayangan.
Ada yang lebih suka ajojing sambil mabuk dan menjerit-jerit
kesetanan. Ada yang main kartu, perang mulut, ribut
dan akhirnya gelut. Ada yang menyetel radio keras-keras
dan serius amat mendengarkan pidato presiden.
Ada yang bercakap-cakap dengan topeng.
Ada yang menyinden. Ada yang main kuda lumping,
mengamuk, kemudian terpelanting. Ada yang sesenggukan
membaca sepucuk surat dari pacarnya yang minggat.
Ada yang bertengkar memperebutkan laki-laki hidung belang.
Ada yang mencopet dan mengutil, kemudian dihajar
habis-habisan. Ada yang jual tampang, pamer pamor,
menjaring iseng, dengan wajah menor-menor.
Ada yang kencing sembarangan di bawah pohon pisang.
Ada juga yang menjajakan berbagai mayat orang hilang
yang gambarnya sering terpampang di koran.
Penyair adalah penjual rokok yang duduk terkantuk-kantuk
di sudut yang remang, yang sambil klepas-klepus
memperingatkan: “Merokok dapat merugikan kesehatan.”
Yang menyimak segala hingar dan segala bingar
sambil mendengar yang tak terdengar.
Yang berani menduga siapa di antara orang-orang
yang sibuk tertawa itu yang melengos pulang
kemudian menggantung diri di kamar
karena diam-diam merasa sangat kesepian.
Tontonan makin seru. Kacau bukan soal.
Tiba-tiba terdengar letusan. Banyak yang ngacir. Kocar-kacir.
Lintang pukang. Tunggang langgang. Maling berteriak maling.
Spiker melengking-lengking. Ada yang lari terkencing-kencing.
Lalu datang orang berseragam, mengamankan keadaan.
“Tenang. Situasi dapat dikendalikan.
Pertunjukan dapat dilanjutkan.”
“Jakarta memang asyik euy,” kata penjual rokok itu
yang sambil klepas-klepus memperingatkan:
“Merokok dapat merugikan kemiskinan.”
Kemudian turunlah gerimis, pertunjukan pun bubar. Misbar.
Di sebuah lapangan di sebuah kampung di sebuah kenangan
di pusat Jakarta masih bisa kautemui sebuah misbar.
Suatu saat akan aku temui penjual rokok itu.
Siapa tahu ia saudara kembarku.
(1999)
Ada baiknya sekali-sekali main ke tetangga.
Sekadar mengobrol, minum kopi, main kartu, mabuk bareng,
pamer utang, atau saling mencabuti uban sambil merencanakan
kapan bisa duel untuk saling mengalahkan.
Biasanya tetangga lebih cermat mengamati keadaan rumah kita.
Siapa tahu ia juga bisa menyumbangkan gagasan cemerlang
tentang cara batuk yang sopan supaya tidak mengganggu
tetangga yang sedang tidur atau makan.
Kita suka menunda-nunda waktu untuk main ke tetangga.
Kita suka bilang sibuk atau pura-pura ingin saling menjaga privasi,
padahal sebenarnya cuma takut dan malu mendengar
gunjingan orang tentang (keburukan) kita.
Saya baru sadar bahwa saya punya tetangga yang baik
dan penuh perhatian. Rumahnya cuma di seberang.
Saya sering melihatnya baca koran atau main catur semalaman
sambil bersiul-siul sendirian. Kadang ia main pantomim
di halaman tanpa seorang pun menghiraukan.
Setiap saya pergi dan pulang kerja ia selalu menyapa: “Mampir!”
“Terima kasih, kapan-kapan,” jawab saya tanpa pernah
mampir sungguhan.
Sialan. Tetangga saya itu rupanya sering mengintip saya.
Suatu saat kami bertemu di jalan dan ia mengatakan: “Aku tahu
apa yang kausembunyikan di balik baju dan celanamu. Aku tahu
apa yang paling kaubanggakan dari tubuhmu. Kau tak tahu
diam-diam aku sering mabuk dan berjoget di bugil badanmu.”
Malam itu ia coba-coba mengintip lagi. Saya cepat-cepat membuka
jendela, hendak mendampratnya. Tapi ia segera menghilang
ke rumahnya yang suram dan tak terawat di bawah pohon kemboja.
“Kapan-kapan saya mampir,” kata saya sambil menutup jendela.
(1999)
Baru tiga puluh tahun menyair, ia sudah pakai kacamata.
Biar tampak bijak dan matang. Biar dikira banyak mikir
dan merenung. Biar lebih kebapakan.
Kalau lagi kencan dengan kata-kata, ada-ada saja tingkahnya:
mencopot kacamata, membersihkannya, menerawangnya,
kemudian mengenakannya kembali sambil pura-pura batuk
dan pilek. Biasa, cari perhatian. Biar kelihatan berwibawa.
Biar dikagumi topeng yang nampang di hadapannya.
Dan ia sudah punya bermacam-macam kacamata.
Tapi ia masih harus mencari matakaca yang bisa membuatnya
tidak grogi menerima teluh cinta kata-kata;
yang bisa menjadikannya tidak nyeremimih dan ingah-ingih
saat menghadap yang mahamakna.
(1999)
Pasukan uban telah datang memasuki wilayah hitam.
Hitam merasa terancam dan segera merapatkan barisan.
“Putih lambang kematangan, hitam harus kita lumpuhkan.”
“Hitam lambang kesuburan, putih harus kita enyahkan.”
Tiap malam pasukan putih dan pasukan hitam bertempur
memperebutkan daerah kekuasaan sampai akhirnya
seluruh dataran kepala berhasil dikuasai masyarakat uban.
“Hore, kita menang. Kita penguasa masa depan.”
Tapi uban jelek di lubang hidungmu memperingatkan:
“Jangan salah paham. Putih adalah hitam yang telah luluh
dalam derita dan lebur dalam pertobatan.”
“Demikianlah sabda uban,” sindir uban-uban pengecut
yang tiap hari minta didandani dengan semir hitam.
(1999)
Orang miskin itu memberanikan diri bertamu ke sahabatnya
yang dulu miskin tapi sekarang kaya raya.
Tak ada jeleknya menghibur orang kaya, pikirnya.
Orang kaya toh sering kesepian juga.
Baru saja melangkah ke ambang pintu,
tuan rumah langsung menyergapnya: “Kau ke sini cuma mau
menagih utang kan? Utang lama kan? Waktu aku masih miskin kan?
Aku akan lunasi sekarang, sekian lipat dari yang kupinjam. Paham?”
Sambil menepuk-nepuk bahu tuan rumah yang pemberang
tamu itu menjelaskan: “Jangan berburuk sangka. Saya ke sini
cuma mau bilang bahwa utang itu sudah saya ikhlaskan.
Besok saya mungkin sudah mati. Paham?”
Tuan rumah terpana dan merasa utangnya makin bertambah saja.
Tamu miskin itu sekarang berdiri di dalam cermin di hadapan saya.
Ia mengucapkan hallo, dan saya merasa tertusuk oleh senyumnya.
(1999)
Malin Kundang pulang menemui ibunya
yang terbaring sakit di ranjang.
Ia perempuan renta, hidupnya tinggal
menunggu matahari angslup ke cakrawala.
“Malin, mana isterimu?”
“Jangankan isteri, Bu. Baju satu saja robek di badan.”
Perempuan yang sudah tak tahan merindu itu
seakan tak percaya. Ia menyelidik penuh curiga.
“Benar engkau Malin?”
“Benar, saya Malin. Lihat bekas luka di keningku.”
“Tapi Malin bukanlah anak yang kurus kering
dan compang-camping. Orang-orang telah memberi kabar
bahwa Malin, anakku, akan datang
dengan isteri yang bagus dan pangkat yang besar.”
“Mungkin yang Ibu maksud Maling, bukan Malin.”
“Jangan bercanda, mimpiku telah sirna.”
Walau sakit, perempuan itu memberanikan diri bertanya:
“Ke mana saja engkau selama ini?”
“Mencari ayah di Jakarta.”
Lalu kata ibu itu: “Ayahmu pernah pulang
dan aku telah sukses mengusirnya.”
“Benar engkau Malin?” Ibu itu masih juga sangsi.
Dan anak yang sudah lelah mengembara itu pun bicara:
“Benar, saya Malin. Malin yang diam-diam
telah menemukan ayahnya dan membunuhnya.”
Sambil memejamkan mata, perempuan itu berkata:
“Bila benar engkau Malin, biar kusumpahi ranjang
dan tubuhku ini menjadi batu.”
Tapi ranjang tidak menjadi batu, dan perempuan itu pun
masih di situ, seakan ada yang masih ditunggu.
(1999)
untuk Clink
Sopirnya sepuluh,
kernetnya sepuluh,
kondekturnya sepuluh,
pengawalnya sepuluh,
perampoknya sepuluh.
Penumpangnya satu, kurus,
dari tadi tidur melulu;
kusut matanya, kerut keningnya
seperti gambar peta yang ruwet sekali.
Sampai di terminal kondektur minta ongkos:
“Sialan, belum bayar sudah mati!”
(1999)
Andong terguncang-guncang di bawah hujan.
Hujan mengguyur malam, melecut kudaku yang kecapaian.
(Andong: keranda indah yang membawa kita tamasya
keliling kota. Kling klong kling klong.)
Andong: kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang,
terseok-seok mendaki jalanan licin berkelok-kelok.
“Hoya! Hoya!” teriak kusir
sambil menyabet-nyabetkan pecutnya.
Kusirnya gundul, gendut dan gendeng.
Enak-enak merokok, minum bir, makan apem.
“Hoya! Hoya!” hentaknya garang
sambil dipecutnya kudaku yang kelaparan.
Andong tertatih-tatih di bawah hujan,
membawa sepasang pengantin ke sebuah kondangan.
Kudanya kurus kering tinggal tulang-belulang,
terengah-engah mendaki jalanan gelap dan basah.
“Hoya! Hoya!” teriak penumpang
membentak kusir yang ketiduran.
Penumpangnya pakai topeng, banyak tingkah, pecicilan.
Yang satu mabuk, yang lain kesurupan.
“Nikmat juga euy naik andong kehujanan,”
kata penumpang edan sambil enak-enak minum bir,
makan lemper, dan dangdutan.
Andong berhenti di kuburan. Pesta kawinan
sudah disiapkan. Dan sudah ada pertunjukan jaran kepang.
“Selamat datang Pengantin,” sambut seorang arwah
penjaga gerbang. Kudaku ketakutan. Melesat minggat
sendirian. Kusir dan penumpangnya ditinggalkan.
(Andong: keranda kosong yang melaju kencang
mencari penumpang. Kling klong kling klong.)
Andong meluncur di bawah hujan. Hujan mengguyur
malam, melecut kudaku yang kesakitan. “Hoya! Hoya!”
gertak kudaku kesetanan, ngebut menembus malam.
(1999)
(1)
Ia sangat mencintai toilet lebih dari bagian-bagian lain rumahnya.
Ruang tamu boleh kelihatan suram, ruang tidur
boleh sedikit berantakan, ruang keluarga boleh
agak acak-acakan, tapi toilet harus dijaga betul keindahan
dan kenyamanannya. Toilet adalah cermin jiwa, ruang suci,
tempat merayakan yang serba sakral dan serba misteri.
Bertahun-tahun kita mengembara mencari wajah asli kita,
padahal kita dapat dengan mudah menemukannya,
yakni saat bertahta di atas lubang toilet.
Karena itulah, barangkali, kita mudah merasa waswas
dan terancam bila melihat atau mendengar kelebat orang
dekat toilet, karena kita memang tidak ingin ada orang lain
mengintip wajah kita yang sebenarnya.
Demikianlah, ketika saya bertandang ke rumahnya
tanpa saya tanya ia langsung berkata: “Kalau mau ke toilet,
terus saja lurus ke belakang, putar sedikit ke kiri,
kemudian belok kanan.” Mungkin ia bermaksud memamerkan
toiletnya yang memang mewah. Begitu saya keluar dari toilet,
ia bertanya: “Dapat berapa butir?” Butir apa?
(2)
Nah, ia terbangun dari tidurnya yang murung dan gelisah.
Dengan meringis dan bersungut-sungut ia berjalan
tergopoh-gopoh ke toilet. Keluar dari toilet,
wajahnya tampak sumringah, langkahnya santai,
matanya cerah. “Merdeka!” Sambil senyum-senyum
ia kembali tidur. Tidurnya damai dan pasrah.
Terus terang saya suka membayangkan yang bukan-bukan
kalau ia berlama-lama di toilet. Apalagi tengah malam.
Apalagi mendengar ia terengah, mengerang, mengaduh,
sesekali menjerit lalu berseru: “Edan!”
Seperti sedang melepaskan rasa sakit yang tak tertahankan.
O ternyata ia sedang bertelur. Dan ia rajin ke toilet
malam-malam untuk mengerami telur-telurnya.
Bertahun-tahun ia bolak-balik antara kamar tidur
dan toilet untuk melihat apakah telur-telur mimpinya
dan telur-telur mautnya sudah menetas.
(1999)
Melihat kau tersenyum dalam tidurmu
aku ingin kasih topeng bayi yang cantik untukmu.
Kau pernah bertanya: “Cantikkah saya waktu bayi?”
Sayang, aku tak sempat membuat foto bayimu.
Padahal kau sangat lucu
dan tak mungkin aku melukiskannya.
Di sebuah desa kerajinan aku bertemu
seorang pembuat topeng yang sangat aneh tingkahnya.
Ia suka menjerit-jerit saat mengerjakan topeng-topengnya.
“Anda masih waras kan?” aku bertanya.
“Masih. Jangan khawatir,” jawabnya. “Saya hanya
tak tahan menahan sakit dan perih setiap memahat
dan mengukir wajah saya sendiri.”
Aku sangat kesepian setiap melihat kau
asyik bercanda dengan topeng bayimu.
Kok wajahku cepat tua dan makin mengerikan saja.
Tapi kau berkata: “Jangan sedih, Pak Penyair.
Bukankah wajah kita pun cuma topeng
yang tak pernah sempurna mengungkapkan
kehendak penciptanya?”
(1999)
Masa kecil kaurayakan dengan membaca.
Kepalamu berambutkan kata-kata.
Pernah aku bertanya: “Kenapa waktumu kausia-siakan
dengan membaca?” Kau jawab ringan: “Karena aku ingin
belajar membaca sebutir kata yang memecahkan diri
menjadi tetes air hujan yang tak terhingga banyaknya.”
Kau memang suka menyimak hujan, bahkan dalam kepalamu
ada hujan yang meracau sepanjang malam.
Itulah sebabnya, kalau aku pergi belanja dan bertanya
minta oleh-oleh apa, kau cuma bilang: “Kasih saja saya
beragam bacaan, yang serius maupun yang ringan.
Jangan bawakan saya rencana-rencana besar masa depan.
Jangan bawakan saya kecemasan.”
Kumengerti kini: masa kanak adalah bab pertama sebuah roman
yang sering luput dan tak terkisahkan, kosong tak terisi,
tak terjamah oleh pembaca, bahkan tak tersentuh
oleh penulisnya sendiri.
Sesungguhya aku lebih senang kau tidur di tempat yang bersih
dan tenang. Tapi kau lebih suka tidur di antara buku-buku,
berkas-berkas, yang berantakan. Seakan mereka mau bicara:
“Bukan kau yang membaca kami, tapi kami yang membaca kau.”
Kau pun pulas. Seperti halaman buku yang luas.
Dalam kepalamu ada air terjun, sungai deras di tengah hutan.
Aku gelisah saja sepanjang malam, mudah terganggu suara hujan.
(1999)
: SDD
Lembut sayap-sayap hujan menggelepar di antara pepohonan
dan rumput liar di remang sajakmu.
Seperti kudengar kepak sayap burung
dari khasanah waktu yang jauh.
Matahari sebentar lagi padam.
Senja hanya diam mengagumi
selendang panjang warna-warni
yang menjuntai di atas sungai yang hanya terdengar suaranya;
malam sesaat lagi akan meraih dan melipatnya.
Hujan yang riang, yang melenyap pelan
dengan derainya yang bersih,
makin lama makin lirih dan akhirnya lengang.
Tapi kudengar juga hujan yang risau dan parau.
Seperti kudengar seorang musafir
kurus dan sakit-sakitan
batuk terus sepanjang malam
dengan suara serak dan berat,
berjalan terbata-bata menyusuri jalan setapak
yang licin meliuk-liuk, mencari tempat yang teduh dan hangat.
Musafir itu bikin unggun di atas sajakmu. Aku akan menemaninya.
(1999)
Selimut telah dilipat.
Dongeng perlu juga tamat.
Cepatlah berangkat
walau nafasmu masih tersengal
tersendat.
Musim panas telah datang
mengepak-ngepakkan sayapnya yang lunglai.
Datang pula gagak
mencabik-cabik sprei,
mencari-cari sumber air
di balik bongkahan guling
dan hanya menemukan ular
yang meringkuk melingkar
di bawah bangkai bantal yang terlantar terbengkalai.
Terdengar juga lengking rusa yang terkapar terbantai.
Pemburu liar mondar-mandir mengitari ranjang,
mencari suara di balik belukar.
Dan ketika angin berhembus kencang
semak-semak itu pun terbakar.
(1999)
Akhirnya ia lari meninggalkan ranjang.
Lari sebelum tangan-tangan malam merampas tubuhnya
dan menjebloskannya ke nganga waktu yang lebih dalam.
“Selamat tinggal, negara.
Aku tak ingin lebih lama lagi terpenjara.
Mungkin di luar ranjang waktu bisa lebih luas dan lapang.”
Ranjang memang sering rusuh dan rawan kekuasaan.
Penuh horor dan teror. Di sana ada psikopat gentayangan
sambil mengacung-acungkan pistol dan berteriak:
“Tiarap. Kau akan kutembak.”
Kemudian ada yang balik mengancam sambil membentak:
“Angkat tangan. Pistolmu tak bisa lagi meledak.”
Ada yang lari meninggalkan ranjang.
Ada yang ingin berumah kembali di ranjang.
Pada kelambu merah ia baca tulisan:
“Ini penjara masih menerima tahanan.
Dijamin puas dan jinak. Selamat malam.”
(1999)
Unggun api masih marak di atas ranjang.
Dua pengelana saling merapat menghangatkan badan.
“Berapa jauh lagikah kita berjalan?”
“Berapa lama lagikah sampai tujuan?”
Langit makin malam. Malam makin mendung.
“Tampaknya kita tersesat.” Lidah api menjilat-jilat.
Mereka kemudian memasang tenda, melanjutkan perburuan.
“Sudah kutempuh perjalanan panjang di rimba ranjang
dan hanya gigil yang kudapatkan.”
“Sudah kurambah seluruh kilometer tubuhmu
sampai ke gua-guanya yang paling dalam
dan tebing-tebingnya yang paling curam
dan hanya labirin yang kutemukan.”
Ketika bangun, tenda sudah rubuh,
unggun sudah padam.
“Kapan hujan turun?”
“Kapan kita pulang?”
Waktu mengkerut di seonggok pakaian.
(1999)
Menjelang usia lima puluh
kristal waktu di matanya masih juga utuh.
Seperti dua butir bulan menyala di kerlap kerling.
Seperti dua butir mimpi menyembul di bawah kening.
Seperti dua butir maut? “Bukan!” sergahnya sambil berpaling.
Pelukis itu sudah lelah sebenarnya.
Sudah dibujuknya ia ke sebuah taman,
duduk tenang di bangku panjang dengan latar langit mendung
sebentar lagi hujan. Tapi perempuan di dalam lukisan itu bilang:
”Beri dong langit yang garang, yang merah cemerlang.”
Apa yang lebih merah selain darah?
“Brengsek ah,” pelukis itu berkesah.
Diirisnya urat darah, diratakannya merah pada langit
di atas bukit. Ke sana burung-burung terbang mencari arah.
Dari sana sayap-sayap malam akan merendah.
“Hatiku damai sekarang,” kata perempuan itu riang.
Ia pun memandang ke seberang, ke tempat anak-anak bermain
layang-layang di atas kuburan. Ada juga liuk sungai
di kejauhan, merayap pelan memasuki hutan.
Pelukis itu ingin rebah sebenarnya.
Tapi masih ada sedikit ruang di sudut kanvas
belum terjamah. “Biarkan tempat itu tetap suwung,”
perempuan itu meminta, “ke sana ku akan nyemplung.”
(1999)
Ketika kau tidur, ada seorang serdadu duduk-duduk di atas
tubuhmu, merokok, main gitar, dan dengan suara sumbang
menyanyikan lagu selamat malam.
Di atas tubuhmu ada serdadu sedang tiduran, menjilat darah
pada pisau, bersiul, kemudian berdiri sambil mengacungkan
senapan. “Hidup revolusi!” pekiknya lantang.
Ketika kau tidur, Sayang, ada serdadu mencari-cari jejakku
di bilur-bilur merah di mahasakit tubuhmu.
(2001)
Di pojok iklan satu halaman lelaki itu duduk mencangkung
sepanjang hari, menunggu perempuan yang pernah ia temui
di sebuah mimpi. Kutunggu kau di sudut taman ini.
Ia suka menengadah ke langit, menyaksikan ribuan pipit
mencecar senja dalam cericit, meringkas waktu ke dalam jerit.
Ia mencangkung saja sepanjang hari, lalu tertidur sampai pagi,
sampai seorang perempuan datang membangunkannya.
Aku ingin memperkosamu di taman yang hening ini.
(2001)
Beberapa hari terakhir ini kampung kami sering dilanda
gangguan keamanan. Pencurian mulai merajalela, bahkan telah
terjadi perampokan disertai penganiayaan. Kepala kampung
memerintahkan agar kegiatan ronda digalakkan karena
tidak mungkin berharap sepenuhnya kepada petugas keamanan.
Malam itu Pak Aman hendak melaksanakan tugas ronda.
Ia warga kampung yang rajin dan setia, meskipun tubuhnya
yang kurus dan tua kurang mendukung gelora semangatnya.
Kalau ronda ia suka memakai topi ninja berwarna hitam,
mungkin untuk sekadar gagah-gagahan. Tapi malam itu
ia tidak mengenakannya karena topi kebanggaannya itu hilang
dicuri orang ketika sedang dijemur di depan rumahnya.
Nah, ia memukul-mukul tiang listrik, memanggil-manggil
teman-temannya, namun yang dipanggil-panggil tidak juga
menampakkan batang hidungnya.
Sambil bersiul-siul Pak Aman berjalan gagah ke gardu ronda.
Ia terperangah melihat di gardu ronda sudah ada beberapa
orang pencoleng sedang bermain kartu sambil terbahak-bahak
dan meneriakkan kata-kata yang bukan main kasarnya.
Bahkan ia jelas-jelas melihat salah seorang pencoleng
dengan enaknya mengenakan topi ninja kesayangannya.
“Ada musuh!” seru seorang pencoleng dan kawanan pencoleng
segera bersiaga untuk meringkusnya. Secepat kilat Pak Aman
melompat dan bersembunyi di sebuah rumpun bambu.
Tubuhnya menggigil demi melihat wajah sangar
para pencoleng sampai ia terkencing-kencing di celana.
Tidak lama kemudian muncul serombongan petugas patroli,
hendak memeriksa keadaan. “Bagaimana situasi malam ini?”
tanya seorang petugas. “Aman!” seru orang-orang
di gardu ronda yang sebenarnya adalah para bajingan.
Meskipun ketakutan, Pak Aman tidak kehilangan akal.
Ia punya keahlian menirukan suara binatang, dan ia paling fasih
menirukan suara anjing. Maka mulailah ia menggongong
dan melolong. Para pencoleng yang merasa sangat terganggu
oleh suara anjing serempak mengumpat: “Asu!”
Tapi gonggongan dan lolongan itu makin menjadi-jadi
sampai beberapa orang kampung mulai berhamburan keluar.
Menyadari ada ancaman, kawanan pencoleng yang sedang
menguasai gardu ronda segera lari tunggang langgang.
Dengan terkekeh-kekeh Pak Aman keluar dari tempat
persembunyian dan teman-temannya yang sudah hafal
dengan kelakuannya serempak berseru: “Asu!”
(2001)
Ada sepasang pengemis buta suatu hari datang ke rumah.
Sebelum minta sedekah, mereka bertanya dulu:
“Apakah Tuan sudah kaya?” Aku menimpal: “Hampir!”
Dengan halus mereka mohon diri, kemudian menuju
ke tetangga sebelah yang mungkin saja hampir sisa hartanya.
Kini aku merasa benar-benar sudah mampu. Telah kusiapkan
rapelan sedekah bagi sepasang pengemis buta itu.
Mereka muncul juga akhirnya, tapi langsung menuju
ke tetangga sebelah tanpa minta sedekah dulu ke aku.
Ketika mereka lewat di depan rumahku, samar-samar aku
mendengar suara: “Tidak usah ngemis ke tuan yang satu ini.
Kasihan, dia hampir miskin. Besok saja kalau dia hampir mati.”
(2001)
Pagi-pagi sekali loper koran itu sudah nongol di depan pintu,
menaruh koran di pangkuanku seraya berpesan:
“Jangan percaya koran. Koran cuma bohong-bohongan.”
Dan setiap akhir bulan, saat menerima uang langganan,
ia tak pernah lupa mengingatkan: “Jangan percaya koran.
Koran cuma bohong-bohongan.”
Suatu siang loper koran yang tak pernah membaca koran itu
mati ketabrak mobil wartawan. Tubuhnya digeletakkan
di pinggir jalan dan hanya ditutupi selembar koran.
Banyak yang pura-pura sibuk mengurusnya dan, tentu saja,
ada yang diam-diam mengincar dompetnya.
Aku tak tahu siapa yang mengantar pulang jasadnya,
tapi setiap membaca koran aku seperti sedang mengantar
jenazah loper koran yang malang itu, menyusuri gang
demi gang di tengah perkampungan kata-kata yang bising
dan pengap, dan setelah muter-muter seharian akhirnya
kutemukan sedikit tempat untuk menguburkannya.
Setiap Lebaran aku menyempatkan diri ziarah ke makamnya,
menyusuri lorong-lorong gelap di tengah kuburan kata-kata
yang luas dan lengang dan kudapatkan nisan kecilnya
hampir tertutup ilalang. Tak ada bulan di atas kuburan.
(2001)
Penagih utang itu datang tengah malam.
Ia duduk dengan sopan, kedua tangan ditangkupkan,
baju batiknya yang murahan tampak terlalu kedodoran
untuk tubuhnya yang kurus dan kusam.
“Langsung saja, ada perlu apa?” aku menghentak.
Ia terperangah, badannya mengkerut, dan kopiahnya
yang longgar seakan bergeser dari letaknya.
“Maaf, kalau tidak salah ini sudah jadwalnya.”
“Jadwal bayar utang, maksudnya? Sabarlah, saya sedang
banyak keperluan. Bapak lihat sendiri brankas saya
sedang ludas, kolam renang belum selesai saya perbaiki,
toilet baru akan saya lapisi emas, isteri belum sempat
saya tambah lagi. Mohon pengertian sedikitlah!”
Tamu itu berkali-kali minta maaf, kemudian permisi.
Sebelum meninggalkan pintu, ia sempat berbisik
di telingaku: “Tidak bikin keranda emas sekalian Pak?”
“Dasar rakyat!” dalam hati aku mengumpat.
Entah mengapa, setiap kali melayat orang meninggal
aku selalu melihat penagih utang itu menyelinap
di tengah kerumunan. Ia suka mengangguk, tersenyum,
namun saat akan kutemui sudah tak ada di tempatnya.
Tahu-tahu ia muncul di kuburan, melambaikan tangan,
dan ketika kudatangi tiba-tiba raib entah ke mana.
Dan orang kaya yang banyak utang itu akhirnya
mati mendadak persis saat sedang mencoba keranda emas
yang baru saja selesai dibuat oleh ahlinya.
Mewakili para pelayat, bapak tua berbaju batik itu tampil
menyampaikan kata-kata belasungkawa.
Dalam sambutan singkatnya antara lain ia mengatakan
bahwa kematian tragis almarhum tetap tidak dapat
menebus utang-utangnya. Namun ia mengajak hadirin
untuk mendoakan arwahnya, memaafkan segala salahnya,
syukur-syukur bersedia ikut menanggung utang-utangnya.
(2001)
Sepuluh orang pengamen menyerbu bus yang sedang lapar
karena hanya diisi seorang penumpang.
Ia orang bingung, duduk gelisah di pojok belakang
membaca peta yang sudah kumal dan penuh coretan.
Para pengamen yang tampak necis dan gagah bergiliran
memetik gitar dan menyanyi lantang kemudian
memungut uang dari penumpang lalu duduk berurutan.
Setelah semua mendapat bagian, gantian si penumpang berdiri
di depan lantas bernyanyi dan bergoyang.
Bahkan para pengamen berwajah seram terheran-heran
lantas bertepuk tangan karena penumpang itu
ternyata dapat menyanyi lebih merdu dan menghanyutkan.
Selesai melantunkan beberapa tembang, ia memungut uang
dari para pengamen lalu berteriak stop kepada sopir kemudian
melompat turun sambil melepaskan pekik kemenangan:
“Hidup rakyat! Hidup penumpang!”
(2001)
Mei tahun ini kusempatkan singgah ke rumah.
Seperti pesan ayah: “Nenek rindu kamu, pulanglah!”
Waktu kadang begitu simpel dan sederhana:
Ibu sedang memasang senja di jendela.
Kakek sedang menggelar hujan di beranda.
Ayah sedang menjemputku entah di stasiun mana.
Siapa di kamar mandi?
Terdengar riuh anak-anak sedang bernyanyi.
Nenek sedang meninggal dunia.
Tubuhnya terbaring damai di ruang doa,
ditunggui boneka-boneka lucu kesayangannya.
“Hei, bajingan kita pulang!” seru boneka singa
yang tetap tampak perkasa, dan menggigil saja ia
saat kubelai-belai rambutnya.
Ayah belum juga datang, sementara taksi
yang menjemputku sudah menunggu di depan pintu.
Selamat jalan nek, selamat tinggal semuanya.
Baik-baik saja di rumah. Salam untuk bapak tercinta.
Di jalan menuju stasiun kulihat ayahanda
sedang celingak-celinguk di dalam becak, wajahnya
tampak lebih tua; becak melaju dengan sangat tergesa.
Dari jendela taksi aku melambai ke ayah,
sekali kukecup telapak tanganku, kulambaikan;
ia pun mengecup tangannya lalu melambai ke aku
sambil berpesan hati-hati di jalan ya.
Begitu simpel dan sederhana, sampai aku tak tahu
butiran waktu sedang meleleh dari mataku.
“Almarhumah nenekmu kemarin masih sempat
menumpang taksi ini,” ujar pak sopir yang pendiam itu,
yang ternyata bekas guruku.
(2001)
untuk ulang tahun SDD
Tubuhku adalah rumah kontrakan yang sudah sekian waktu
aku diami sampai aku lupa bahwa itu bukan rumahku.
Tiap malam aku berdoa semogalah aku lekas kaya supaya bisa
membangun rumah sendiri yang lebih besar dan nyaman,
syukur dilengkapi taman dan kolam renang.
Tadi malam si empunya rumah datang dan marah-marah.
“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk memperbaiki rumah ini.”
“Maaf Bu,” aku menjawab malu, “uang saya baru saja habis
buat bayar utang. Sabarlah sebentar, bulan depan pasti
sudah saya lunasi. Kita kan sudah seperti keluarga sendiri.”
Pada hari yang dijanjikan si empunya rumah datang lagi.
Ia marah besar melihat rumahnya makin rusak dan berantakan.
“Orgil, kau belum juga membereskan uang sewa, sementara
aku butuh biaya untuk merobohkan rumah ini.”
Dengan susah payah akhirnya aku bisa melunasi uang kontrak.
Bahkan diam-diam si rumah sumpek ini kupugar-kurombak.
Saat si empunya datang, ia terharu mendapatkan rumahnya
sudah jadi baru. Sayang si penghuninya sudah tak ada di sana.
Ia sudah pulang kampung, kata seorang tetangga.
“Orgil, aku tak akan pernah
merobohkan rumah ini. Aku akan tinggal di rumahmu ini.”
(2001)
Di ruang tamu ini, sekian tahun silam, saya menerima
seorang pemuda kurus kering yang datang menawarkan akik.
Saya tidak suka akik. Lebih tidak suka lagi pada bualannya
tentang kesaktian akik. Seberapa pun hebatnya,
akik hanya akan melemahkan iman.
Tanpa basa-basi saya minta anak muda yang tampak
kelaparan itu segera angkat kaki.
Ia pun pamit dengan penuh ketakutan
dan sambil pergi matanya tetap memandang sayu kepada saya.
Tentu bukan karena akik kalau rumah itu terpaksa saya jual
kepada seseorang dan orang itu kemudian menjualnya
kepada seseorang yang lain, demikian seterusnya.
Rumah itu memang angker,
tidak pernah bikin tenteram penghuninya.
Kini sayalah yang duduk terlunta-lunta di ruang tamu ini.
Wah, mewah benar bekas ruang tamu kesayanganku.
Ada pendingin udaranya, ada cermin besarnya,
ada pula lukisan tidak jelas yang pasti sangat mahal harganya.
Cukup lama saya menunggu, tapi si empunya rumah
tidak juga keluar menemui saya. Saya bermaksud
menawarkan obat kuat yang dibuat khusus untuk orang kaya.
Dengan jengkel saya mengintip ke ruang tengah.
Wah, si empunya rumah sedang sibuk bergoyang-goyang
mengikuti irama musik yang ia bunyikan keras-keras.
Setelah saya panggil berulang-ulang dengan suara lantang,
barulah ia sudi menemui saya.
Tidak salah lagi, dia adalah si bekas pedagang akik yang dulu
menghiba-hiba di hadapan saya.
Sayang ia pura-pura tidak pernah kenal saya.
“Masih jualan akik, Pak?” saya coba memancing reaksinya.
Ia menjawab ketus: “Jangan bicara akik dengan saya.
Akik hanya akan melemahkan iman.”
Setelah menimang-nimang seluruh jenis obat
yang saya bawa, dengan sinis ia berkata:
“Maaf, tidak ada yang cocok dengan kapasitas saya.”
Kemudian ia memerintahkan saya segera angkat kaki
dan sebelum saya sempat pamitan ia sudah buru-buru masuk
ke ruang tengah untuk melanjutkan kesibukannya.
Suatu hari saya mendengar kabar bahwa si bekas penjual akik
yang mulai sombong itu sedang terkapar di rumah sakit,
terkena penyakit berat yang entah apa namanya.
Saya menyempatkan diri menjenguknya.
Duh, kasihan juga melihat ia terbaring lemah dengan mata
kadang terpejam kadang terbuka.
Ketika di kamar sakitnya hanya tinggal kami berdua,
saya bisikkan di telinganya: “Rasain lu!”
Serta-merta matanya membelalak dan dengan gagah
ia menimpal: “Prek lu!”
Cukup lama kami beradu pandang, dan kami sama-sama
berusaha tidak tertawa atau malah mengeluarkan air mata.
(2001)
Ketika aku akan merantau buat cari penghidupan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan royal, supaya kamu
cepat kaya. Kalau kaya, kamu bisa balas dendam
terhadap kemiskinan.”
Sekian tahun kemudian aku pulang sebagai orang kaya.
Aku bangun daerah baru di atas perkampungan lama.
Hore, aku telah mengalahkan kemiskinan.
Aku tak butuh lagi masa depan.
Kemudian aku jatuh miskin.
Hartaku amblas, harga diriku kandas.
Kekayaanku tinggal hutang-hutangku.
Ketika aku akan merantau lagi buat cari kekayaan,
uang berpesan: “Hiduplah hemat, jangan kauhabis-habiskan
kemiskinan. Kalau tak punya lagi kemiskinan,
bagaimana bisa mati dengan kaya?”
(2001)
Bambang adalah teman yang periang dan cerdas.
Ia pandai menghibur kita hanya dengan kesederhanaan wajahnya.
Ia cepat memahami isi hati dan pikiran kita
tanpa harus bertanya dan berkata-kata.
Ia selalu tertawa dalam suka maupun duka.
Bila kita menghardik, bahkan mencaci-makinya, ia hanya meringis
dan tersipu sehingga kita malah terharu olehnya.
Kita sering sedih dan menyesal melihat wajah cepat tua,
sementara ia tetap saja awet muda.
Bambang memang teman yang luar biasa.
Sejak kepergiannya, rumah seperti kehilangan jiwa.
Tak ada lagi yang menemani kesendirian dan ketakutan kita
saat kita bersolek di depan kaca.
Tak ada lagi yang menggantikan wajah kita bila kita bosan
melihat wajah yang maya.
Bambang, topeng kita yang pendiam itu, mungkin sudah dibuang
atau disembunyikan oleh entah siapa di antara kita
yang tidak sanggup lagi bersaing dengan keluguannya.
(2001)
(1)
Sesungguhnya kita ini penggemar dangdut.
Kita suka menggoyang-goyang memabuk-mabukkan kata
memburu dang dang dang dan ah susah benar mencapai dut.
(2)
Para pejoget dangdut sudah tumbang dan terkulai satu demi satu
kemudian tertidur di baris-baris sajakmu.
Malam sudah lunglai, pagi sebentar lagi sampai, tapi kau tahan
menyanyi dan bergoyang terus di celah-celah sajakmu.
Kau tampak sempoyongan, tapi kau bilang: “Aku tidak mabuk.”
Mungkin aku harus lebih sabar menemanimu.
(2001)
untuk Godot
Suatu malam di Utan Kayu tak kujumpai engkau,
tak kujumpai siapa-siapa
selain kursi-kursi berjungkiran di atas meja.
Kedai sudah tutup. Malam tinggal sisa.
Kudengar tikus-tikus bermain musik bersama piring,
gelas, sendok. “Kusaksikan tadi pertunjukan besar,”
saudara kucing melaporkan.
Di mana engkau? Biasanya engkau duduk manis
di pojok, minum angin, merokok.
Engkau terlonjak girang bila aku datang:
“Hai, dari mana saja engkau?”
Ternyata engkau sedang termenung di ruang pertunjukan.
Engkau sedang mengumpulkan kembali kata-kata
yang berceceran. Engkau sedang menangis,
mencopot wajah di ruang ganti pakaian.
Malam berikutnya tak kulihat lagi engkau
di bangku penonton. Engkau tak muncul lagi
di panggung permainan. “Hai, ke mana saja engkau?”
Kupanggil engkau berulang-ulang.
(2001)
Setiap pagi penjual buah itu lewat di kampung kami,
keluar masuk gang sambil melantunkan kata-kata hafalan:
Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya.
Dara-dara remaja senang sekali mendengarnya;
mereka cepat-cepat berdiri di depan cermin dan menyaksikan
bahwa pohon waktu mulai berbuah.
Ibu-ibu muda dengan gembira merubungnya dan merasakan
betapa pohon cinta sedang lebat buahnya.
Hanya perempuan-perempuan tua suka tersenyum kecut
dan kadang ada yang menangis sambil merengek manja:
Kembalikan buah saya kembalikan buah saya.
“Pisangnya masih, Pak Adam?” demikian ibu-ibu setengah baya
suka bertanya, dan sambil tersenyum bangga penjual buah itu
menggoda: “Aduh, kok pisang lagi yang diminta!”
Bukan buah sembarang buah, buah saya manis rasanya.
Kata-kata ini terus saja diulangnya meskipun segala buah
yang dijajakannya sudah terbeli semua.
Sudah seminggu ini Pak Adam tak muncul di kampung kami.
Kata seorang nenek yang diam-diam mengaguminya,
penjual buah itu tampaknya sudah mendapatkan buahnya buah
yang belum tentu manis rasanya, yang mungkin pahit rasanya.
“Bukan buah sembarang buah,” ujar seorang perawan tua
sambil menikmati apel yang tampak merah dagingnya.
(2001)
Dengan perjuangan berat, alhamdulillah akhirnya aku
bisa bertelur. Telurku lahir dengan selamat,
warnanya hitam pekat.
Aku ini seorang peternak: saban hari
mengembangbiakkan kata, dan belum kudapatkan kata
yang bisa mengucapkan kita.
Kata yang kucari, konon, ada di dalam telurku ini.
Kuperam telurku di ranjang kata-kata yang sudah lama
tak lagi melahirkan kata. Kuerami ia saban malam
sampai tubuhku demam dan mulutku penuh igauan.
Kalau aku lagi asyik mengeram, diam-diam telurku
suka meloncat, memantul-mantul di lantai,
kemudian menggelinding pelan ke toilet,
dan ketika hampir saja nyemplung ke lubang kloset
cepat-cepat ia kutangkap dan kubawa pulang ke ranjang.
Mana telurku? Tiba-tiba banyak orang merasa
kehilangan telur dan mengira aku telah mencurinya
dari ranjang mereka.
Ah telur kata, telur derita, akhirnya kau menetas juga.
Kau menggelembung, memecah, memuncratkan darah.
Itu bukan telurku!
(2001)
(1)
Hujan tumbuh sepanjang malam, tumbuh subur di halaman.
Aku terbangun dari rerimbun ranjang, menyaksikan angin
dan dingin hujan bercinta-cintaan di bawah rerindang hujan.
Subuh hari kulihat bunga-bunga hujan dan daun-daun hujan
berguguran di kebun hujan, bertaburan jadi sampah hujan.
(2)
Kudengar anak-anak hujan bernyanyi riang di taman hujan
dan ibu hujan menyaksikannya dari balik tirai hujan.
Pagi hari kulihat jasad-jasad hujan berserakan di kebun hujan.
Airmataku berkilauan di bangkai-bangkai hujan
dan matahari datang menguburkan mayat-mayat hujan.
(2001; salam untuk cerpen “Hujan” Sutardji)
untuk Anggra
Pacarkecilku bangun di subuh hari ketika azan datang
membangunkan mimpi. Pacarkecilku berlari ke halaman,
menadah hujan dengan botol mainan, menyimpannya
di kulkas sepanjang hari, dan malamnya ia lihat di botol itu
gumpalan cahaya warna-warni.
Pacarkecilku lelap tidurnya, botol pelangi dalam dekapnya.
Ketika bangun ia berkata: “Tadi kau ke mana?
Aku mencarimu di rerimbun taman bunga.”
Aku terdiam. Sepanjang malam aku hanya berjaga
di samping tidurnya agar dapat melihat bagaimana azan
pelan-pelan membuka matanya.
Pacarkecilku tak akan mengerti: pelangi dalam botol cintanya
bakal berganti menjadi kuntum-kuntum mawar-melati
yang akan ia taburkan di atas jasadku, nanti.
(2001)
Sebelum tidur ia selalu berdoa: Bangunkan aku jam tiga pagi.
Jam tiga pagi mimpi mungkin sudah kembali ke nol lagi.
Ia ingin dengar bagaimana ranjang menyanyikan tubuhnya
dan tubuh menyanyikan sakitnya.
Bahkan aku sudah tiba sebelum jam tiga pagi.
Sudah lama aku menempuhmu, naik-turun di sengal nafasmu,
dan kini aku akan berjaga di tapal batas tubuhmu.
Ia terpejam saja. Menggeliat. Seakan waktu sedang sekarat.
Tubuh besarku tambah riuh dan tak tersembunyikan lagi.
Tubuh kecilku terlindung jauh di relung yang tak terjelajahi.
Ada, selalu, yang akan datang jam tiga pagi, menyalakan waktu
di unggun tubuhmu, menghabiskan seluruh sisa sakitmu.
Bahkan sebelum kau sempat membangunkanKu.
(2001)
Ketika saya akan masuk ke kamar mandi, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan cantik bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih cinta atau nyawa?” ia mengancam.
“Beri saya kesempatan mandi dulu, Perempuan,”
saya menghiba, “supaya saya bersih dari dosa.
Setelah itu, perkosalah saya.”
Selesai saya mandi, perempuan itu menghilang
entah ke mana. Saya pun pulang dengan perasaan waswas:
jangan-jangan ia akan menghadang saya di jalan.
Apa dosa saya? Saya tidak pernah menyakiti perempuan
kecuali saat saya dilahirkan.
Ketika saya akan masuk ke kamar tidur, dari balik pintu
tiba-tiba muncul perempuan gundul bergaun putih
menodongkan pisau ke leher saya.
“Pilih perkosa atau nyawa?” ia mengancam.
Saya panik, saya jawab sembarangan: “Saya pilih ATAU!”
Ia mengakak. “Kau pintar,” katanya. Kemudian
ia mencium leher saya dan berkata: “Tidurlah tenang
dukacintaku. Aku akan kembali ke dalam mimpi-mimpimu.”
(2001)
Banyak orang begitu jijik dan benci pada tikus, tapi perempuan lajang yang tinggal sendirian di rumahnya yang besar itu justru merasa tentram bersahabat dengan tikus-tikus yang mencericit terus tiada hentinya. Entah berapa tikus berumah di rumahnya. Dan setiap hari ada saja tikus mati, lalu dengan sedih ia buang ke selokan.
Sebelum tidur, sambil mengantuk, ia sempatkan membaca buku Hidup Bahagia bersama Tikus sementara konser tikus berlangsung terus sampai jauh malam, juga ketika ia sudah nyenyak bermimpi bertemu kekasih yang selama ini ia sembunyikan dalam ingatan.
Malam itu ia tidur berselimutkan sarung cap tikus, dan ada tikus besar dari kuburan mondar-mandir di sekitar tubuhnya, mengendus-endus sakitnya. Saat bangun ia menjerit mendapatkan tikus-tikus mati berkaparan di ranjang. Sialan, kau dapat cericitnya, aku bangkainya!
(2002)
Kau sudah tak sabar menungguku di halaman rumah berdinding putih itu.
Di atas bangku di bawah pohon cemara duduk seorang wanita setengah baya
sedang suntuk membaca dan sesekali tertawa.
Nah, perempuan itu mengangkat kaki kirinya,
kemudian menumpangkannya ke yang kanan.
Pahanya tersingkap, clap, kau terkejap: kaususupkan
cerlap cahayamu ke celah-celah itu dan aku cemburu.
Maka aku pun segera berderai lembut di atas parasmu.
Aku berdebar ketika perempuan itu melonjak girang:
"Ah, gerimis senja telah datang."
Hanya agar perempuan kita bahagia, kau dan aku rela berebut bianglala
dan ingin segera melilitkannya ke tubuhnya.
Sebab sesaat lagi kau sudah jadi malam dan aku hujan,
dan perempuan itu tidak mencintai keduanya: ia akan cepat-cepat
masuk ke rumahnya, membiarkan kita berdua menghapus jejaknya.
(2002)
Hingga dewasa saya tak pernah tahu saya ini sebenarnya anak siapa. Sejak lahir saya diasuh dan dibesarkan Ibu tanpa kehadiran seorang lelaki yang biasa disebut ayah. Ibu pernah mengaku bahwa dulu ia memang suka kencan dengan banyak lelaki, tapi tak bisa memastikan benih lelaki mana yang tercetak di rahimnya, kemudian terbit menjadi saya.
Ibu tak pernah menyebut dirinya perempuan jalang, dan bagi anak seperti saya yang mengalami kelembutan cinta seorang ibu soal itu toh tidak penting-penting amat. Dan ketika seorang teman penyair iseng-iseng bertanya apakah saya ini buah cinta sejati atau cinta birahi, hasil hubungan terang atau hubungan gelap, saya menganggap dia bukanlah pernyair cerdas. Justru Ibu yang bukan penyair pernah bertanya, "Kau, penyairku, apakah kau tahu pasti asal-usul benih yang tumbuh dalam kata-katamu?"
Sudah ada beberapa lelaki misterius yang mengaku-ngaku sebagai ayah saya. Masing-masing menyatakan perihal cintanya yang tulus kepada wanita yang kemudian melahirkan saya. Mereka juga merasa bangga terhadap saya. Sayang, saya tak membutuhkan pahlawan kesiangan. Lagi pula, saya lebih suka membiarkan diri saya tetap menjadi milik rahasia.
Kini ibu saya yang cerdas terbaring sakit. Kondisi tubuhnya makin hari makin lemah. Dalam sakitnya ia sering minta dibacakan sajak-sajak saya dan kadang ia mendengarkannya dengan mata berkaca-kaca. Entah mengapa, beberapa saat sebelum beliau wafat saya sempat lancang bertanya: saya ini sebenarnya anak siapa? Saya bayangkan ibu yang penyayang itu akan hancur hatinya. Tapi, sambil mengelus kepala saya, ia menjawab hangat: "Anak seorang perempuan!"
(2002)
Di musim kemarau semua sumber air di desa itu mengering.
Perempuan-perempuan legam berbondong-bondong menggendong gentong
menuju sebuah sendang di bawah pohon beringin di celah bebukitan.
Tawa mereka yang renyah menggema nyaring di dinding-dinding tebing,
pecah di padang-padang gersang.
Setelah berjalan lima kilometer jauhnya, mereka pun sampai di mataair
yang tak pernah mati itu. Mereka ramai-ramai menuai air membuncah-buncah,
menuai airmata yang mereka tanam di ladang-ladang karang.
Bulan sering turun ke sendang itu, menemani gadis kecil
yang suka mandi sendirian di situ. Langit sangat bahagia
tapi belum ingin meneteskan airmata. Nanti, jika musim hujan tiba,
langit akan memandikan gadis kecil itu dengan airmatanya.
(2002)
Ibu itu mengasuh anak-anaknya sendirian sejak suaminya dipinjam negara untuk dijadikan kelinci dalam percobaan sistem keamanan. Sampai sekarang belum dikembalikan, padahal suaminya itu sebenarnya cuma pemberani yang lugu dan kadang-kadang nekat. Toh ibu itu tak pernah berhenti menunggu, meskipun menunggu adalah luka. Dan ia memang perkasa. Menghadapi anak-anaknya yang nakal dan sering menyusahkan, ia tak pernah kehilangan kesabaran.
Setiap subuh ibu itu memetik embun di daun-daun, menampungnya dalam gelas, dan menghidangkannya kepada anak-anaknya sebelum mereka berangkat sekolah. Malam hari diam-diam ia memeras airmata, menyimpannya dalam botol, dan meminumkannya kepada anak-anaknya bila mereka sakit.
Ia mendidik anak-anaknya untuk tidak cengeng. Ia paling tidak suka melihat orang mudah menangis. Bila anak-anaknya bertanya, "Mengapa Ibu tidak pernah menangis?", jawabnya, "Biar kutabung airmataku buat hari tua. Bila kelak aku meninggal, kalian bisa memandikan jenazahku dengan tabungan airmataku.”
Sehari-hari ibu yang penyabar itu berjualan awalan ber- di sekolah partikelir yang hidup enggan mati tak mau. Sebagian besar muridnya bodoh dan berandal, tapi ya bagaimana lagi, mereka tetap harus dicintai. Ia rajin menasihati mereka agar tidak mudah putus asa, apalagi menangis, menghadapi kegagalan. "Berlatih gagal itu penting," pesannya berulang-ulang.
Tenaga dan waktunya praktis habis untuk urusan rumah dan pekerjaan sehingga ia kurang hiburan. Satu-satunya hiburan adalah menonton televisi yang sudah agak pucat gambarnya. Dan ia penggemar televisi yang baik. Ia bisa sangat terharu menyaksikan kisah yang menyayat hati, misalnya kisah tentang pejuang yang digugurkan negara dan jenazahnya diselimuti kain bendera. Anak-anak ikut trenyuh dan tersedu melihat ibu mereka diam-diam mengusap airmata. "Jangan menangis!" bentak ibu yang tabah itu tiba-tiba. “Aku menangis hanya untuk menyenang-nyenangkan televisi. Mengerti?”
(2002)
Di pesta pernikahan temannya ia berkenalan dengan perempuan yang kebetulan menghampirinya. Mata mengincar mata, merangkum ruang. Rasanya kita pernah bertemu. Di mana ya? Kapan ya? Mata: kristal waktu yang tembus pandang.
Di tengah hingar mereka berjabat tangan, berdebar-debar, bertukar nama dan nomor, menyimpannya ke telepon genggam, lalu saling janji: Nanti kontak saya ya. Sungguh lho. Awas kalau tidak.
Pulang dari pesta, ia mulai memperlihatkan tanda-tanda sakit jiwa. Jas yang seharusnya dilepas malah dirapikan. Celana yang seharusnya dicopot malah dikencangkan. Ingin ke kamar tidur, tahu-tahu sudah di kamar mandi. Mau bilang jauh di mata, eh keliru dekat di hati.
Masih terngiang denting gelas, lenting piano dan lengking lagu di pesta itu. Semuanya tinggal gemerincing rindu yang perlahan tapi pasti meleburkan diri ke dalam telepon genggamnya, menjadi sistem sepi yang tak akan pernah habis diurainya.
Ia mondar-mandir saja di dalam rumah, bolak-balik antara toilet dan ruang tamu, menunggu kabar dari seberang, sambil tetap digenggamnya benda mungil yang sangat disayang: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Dipencetnya terus sebuah nomor dan yang muncul hanya tulalit yang membuat sakitnya makin berdenyit. Sesekali tersambung juga, namun setiap ia bilang halo jawabnya selalu Halo halo Bandung. Ia pukulkan telepon genggamnya ke kepala, tapi lalu diciumnya.
Kabar dari seberang tak kunjung datang, ia pergi saja ke ranjang: tidur barangkali akan membuatnya sedikit tenang. Ia terbaring terlentang, masih dengan kaos kaki dan jas yang dipakainya ke pesta, dan telepon genggam tak pernah lepas dari cengkeram. Telepon genggam: surga kecil yang tak ingin ditinggalkan.
Akhirnya terdengar juga bunyi panggilan. Ia berdebar membayangkan perempuan itu mengucap salam: Tidurlah sayang, sudah malam. Kau tak akan pernah kutinggalkan. Ternyata cuma umpatan dari seseorang yang tak ia kenal: Gile, tidur aja pake jas segala. Emangnya mau mati?
Berpuluh pesan telah ia tulis dan kirimkan dan tak pernah ada balasan. Hanya sekali ia terima pesan, itu pun cuma iseng: Selamat, Anda mendapat hadiah undian mobil kodok. Segera kirimkan foto Anda untuk dicocokkan dengan kodoknya.
Antara tertidur dan terjaga, antara harap dan putus asa, telepon genggamnya tiba-tiba berbunyi nyaring. Ia tempelkan benda ajaib itu ke telinganya dan ia dengar suara burung berkicau tak henti-hentinya. Suara burung yang dulu sering ia dengar dari rerimbun pohon sawo di halaman rumahnya, rumah ibu-bapaknya.
Di luar hujan telah turun, terdengar suara peronda meninggalkan gardu. Ia ingin tidur saja karena merasa tak ada lagi yang mesti ditunggu. Ketika untuk terakhir kali ia mencoba menghubungi nomor perempuan itu, ia terkesiap takjub melihat layar telepon genggamnya
memancarkan gambar gerimis mengguyur senja.
Kalau harus gila, gila sajalah. Ia ingin pulas dalam mimpi yang ia tahu tak pernah pasti. Emangnya gue pikirin? Ia pura-pura tak acuh, padahal sangat butuh. Ia betulkan jasnya, genggam erat surga kecilnya. Lalu terpejam, terlunta-lunta: tubuh rapuh tak berdaya yang ingin tetap tampak perkasa.
Ketika ia merasa bahwa tidur pun tak bisa lagi menolongnya, telepon genggamnya tiba-tiba memanggil. Ia dengar suara anak kecil menangis tak putus-putusnya. Nyaring, lengking, lebih lengking dari hening. Namun ia terpejam saja, terpejam sebisanya, sementara telepon genggamnya meronta-ronta dalam cengkeramannya.
Apa yang sedang ia bayangkan? Mungkin ia melihat seorang anak lelaki kecil pulang dari main layang-layang di padang lapang dan mendapatkan rumahnya sudah kosong dan lengang. Hanya terdengar suara burung berkicau bersahutan di rerindang ranting dan dahan. Hanya ada seorang anak perempuan kecil, dengan raut rindu dan binar bisu, sedang risau menunggu. Seperti saudara kembar yang ingin benar memeluknya dalam haru, mengajaknya bermain di bawah pohon sawo: pohon hayat yang tak terlihat waktu.
(2002)
untuk Wibi
Empat puluh tahun yang lampau kutinggalkan kau
di kamar mandi, dan aku pun pergi merantau
di saat kau masih hijau.
Kau menangis: “Pergilah kau, kembalilah kau!”
Kini, tanpa celana, aku datang menjemputmu
di kamar mandi yang bertahun-tahun mengasuhmu.
Seperti pernah kaukatakan dalam suratmu:
“Jemputlah aku malam Minggu,
bawakan aku celana baru.”
Di kamar mandi yang remang-remang itu
kau masih suntuk membaca buku.
Kaulepas kacamatamu dan kau terpana
melihatku tanpa celana. Sebab celanaku tinggal satu
dan seluruhnya kurelakan untukmu.
“Hore, aku punya celana baru!” kau berseru.
Kupeluk tubuhmu yang penuh goresan waktu.
(2002)
Bahkan celana memilih nasibnya sendiri:
ia pergi ke pasar loak justru ketika aku sedang giat
belajar bugil dan mandi.
“Selamat tinggal pantat. Selamat tinggal jagoan kecil
yang tampak pemalu tapi hebat.”
Entah berapa pantat telah ia tumpangi,
berapa kenangan telah ia singgahi,
sampai suatu hari aku menemukannya kembali
di sebuah kota, di sebuah kuburan.
“Pulang dan pakailah celana kesayanganmu ini,”
kata perempuan tua penjaga makam.
Sampai di rumah, kupakai kembali si celana hilang itu
dan aku terheran: “Kok celanaku makin kedodoran!”
Aku termenung melihat seorang bocah
di dalam cermin sedang sibuk mencoba celana
yang sudah bolong di bagian tengahnya.
(2002)
Konon ia seorang veteran, bekas pejuang kemerdekaan,
sehari-hari bergiat sebagai pedagang celana di sebuah pasar
di dekat kuburan di pinggiran kota.
Orang-orang sangat suka membeli celana bikinannya
karena terjamin kwalitetnya, sangat enak dipakainya,
terkenal sejak 1945.
Mentang-mentang pakai celana serdadu, penjual celana itu
tiba-tiba menjadi sombong dan pura-pura lupa sama aku.
“Anda dari kampung ya?” ejeknya ketika aku sibuk
mencoba-coba berbagai celana dan tidak juga membelinya.
“Semua celana itu palsu. Yang asli cuma ini,” katanya
sembari menunjuk-nunjuk celananya sendiri.
Ia tertawa hebat ketika aku berniat membeli celana antik
yang dipakainya, berapa pun harganya.
Ia bertahan: “Jangan. Ini celana perjuangan.”
Ketika sekian tahun kemudian kami bertemu lagi
di sebuah rumah sakit jiwa di dekat kuburan di pinggiran kota,
bekas serdadu itu mengaku bahwa celana loreng
yang dibanggakannya itu sebenarnya palsu dan ia menyesal
mengapa dulu tidak menjualnya ke aku.
Celana itu sudah dibeli seorang kolektor kaya
yang gemar mengumpulkan berbagai macam benda pusaka.
(2002)
untuk Nur
Penyair kecil itu sangat sibuk merangkai-rangkai kata
dan dengan berbagai cara menyusunnya menjadi
sebuah rumah yang akan dipersembahkan kepada ibunya.
“Kita belum punya rumah kan, Bu. Nah, Ibu tidur saja
di dalam rumah buatanku. Aku akan berjaga di teras
semalaman dan semuanya akan aman-aman saja.”
Ketika kau bangun di subuh yang hening itu, kau tertawa
melihat penyair-kecilmu tertidur kedinginan
di teras rumahnya, ditunggui Donald dan Bobo,
pengawal-pengawalnya yang setia.
(2002)
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terbuka
dan aku tidak berani melongoknya.
(2002)
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menyusup jauh ke relung tidurku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya menggetarkan lidah kata-kataku.
Bayi mungil menjerit-jerit di kamar mandi.
Lengking suaranya kupinjam untuk mengucapkan lagi aku.
(2002)
untuk Andreas dan Dorothea
Hujan beratus warna
tumpah di hamparan kanvas senja.
Pohon-pohon bersorak gembira
sebab dari ranting-rantingnya yang sakit
kuncup jua daun-daun beratus warna.
Burung-burung bernyanyi riang,
terbang riuh dari dahan ke dahan
dengan sayap beratus warna.
Dua malaikat kecil menganyam cahaya,
membentangkan bianglala
di bawah langit beratus warna.
Airmata beratus warna kautumpahkan
ke celah-celah sunyi
yang belum sempat tersentuh warna.
(2002)
untuk Joni Ariadinata
Setiap pulang kampung, aku selalu menemui bang becak
yang mangkal di bawah pohon beringin itu dan memintanya
mengantarku ke tempat-tempat yang aku suka.
Entah mengapa aku sangat suka tamasya dengan becaknya.
Mungkin karena genjotannya enak, lancar pula lajunya.
Malam itu aku minta diantar ke sebuah kuburan.
Aku akan menabur kembang di atas makam nenek moyang.
Kuburan itu cukup jauh jaraknya dan aku khawatir bang becak
akan kecapaian, tapi orang tua itu bilang tenang tenang.
Sepanjang perjalanan bang becak tak henti-hentinya bercerita
tentang anak-anaknya yang pergi merantau ke Jakarta
dan mereka sekarang alhamdulillah sudah jadi orang.
Mereka sangat sibuk dicari uang dan hanya sesekali pulang.
Kalaupun pulang, belum tentu mereka sempat tidur di rumah
karena repot mencari ini itu, termasuk mencari utang
buat ongkos pulang ke perantauan.
Baru separuh jalan, nafas bang becak sudah ngos-ngosan,
batuknya mengamuk, pandang matanya berkunang-kunang,
aduh kasihan. “Biar gantian saya yang menggenjot, Pak.
Bapak duduk manis saja, pura-pura jadi penumpang.”
Mati-matian aku mengayuh becak tua itu menuju kuburan,
sementara si abang becak tertidur nyaman, bahkan mungkin
bermimpi, di dalam becaknya sendiri.
Sampai di kuburan aku berseru bangun dong pak,
tapi tuan penumpang diam saja, malah makin pulas tidurnya.
Aku tak tahu apakah bunga yang kubawa akan kutaburkan
di atas makam nenek moyangku atau di atas tubuh
bang becak yang kesepian itu.
(2002)
Aku tidur berselimutkan uang.
Ketika bangun, tahu-tahu tubuhku sudah telanjang.
(2002)
Penjaga malam itu masih setia menjaga rumah besar
yang tak pernah dihuni pemiliknya.
Ia sangat mencintai rumah kosong itu,
bahkan merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Suatu malam ia berhasil menangkap seorang penjahat
yang berusaha masuk ke rumah itu tanpa seizinnya.
Ia tidak rela rumah itu diganggu karena, ya itu tadi,
ia merasa sudah menyatu dengan kesunyiannya.
Keesokan harinya penjaga malam itu tak kelihatan lagi
batang hidungnya. Ia sudah ditangkap polisi
karena telah menghajar pemilik rumah yang dijaganya.
(2002)
Gadis enam puluh tahun berdiri di ambang jendela,
berbincang-bincang dengan senja.
Senja menggerayangi wajahnya, dan ia merasa
sorot senja sangat menyilaukan matanya.
"Ngapain ngeliatin gue melulu? Ntar gue colong mata lu!"
Senja meredup, kemudian angslup ke pelupuknya.
Demikianlah, setiap berangkat bermain layang-layang
di kuburan, aku melihat gadis buta itu sedang berdiri
di ambang jendela, berpacaran dengan senja,
dan sorot senja memancar dari kelopak matanya.
(2002)
Malam ini aku akan berangkat mengarungimu.
Perjalanan mungkin akan panjang berliku
dan nasib baik tidak selalu menghampiriku
tapi insyaallah suatu saat
bisa kutemukan sebuah kiblat
di ufuk barat tubuhmu.
(2002; kado buat Ade & Fajar)
Berputar-putar di rimba ranjang, mencari jalan setapak
menuju tubuhmu yang terjal dan curam, sementara hari
mulai gelap dan hujan sebentar lagi datang, awas ada
penjahat siap menghadang, akhirnya aku tersesat
dan terperosok ke dalam jurang.
Tubuhmu terlindung jauh di luar ranjang.
(2002)
Untuk terakhir kali perempuan cantik itu akan merias jenazah.
Setelah itu selesailah. Ia sangat lelah setelah sekian lama
mengurusi keberangkatan para arwah .
Kini ia harus merias jenazah seorang perempuan
yang ditemukan tewas di bawah jembatan, tidak jelas
asal-usulnya, serba gelap identitasnya, tidak ada yang sudi
mengurusnya, dan untuk gampangnya orang menyebutnya
gelandangan atau pelacur jalanan, toh petugas ketidakamanan
bilang ah paling ia mati dikerjain preman-preman.
Perias jenazah itu tertawa nyaring begitu melihat jenazah
yang akan diriasnya sangat mirip dengan dirinya.
Kemudian ia menangis tersedu-sedu sambil dipeluknya
jenazah perempuan malang itu.
“Biar kurias parasmu dengan air mataku hingga sempurna ajalmu.”
Beberapa hari kemudian perias jenazah itu meninggal dunia
dan tak ada yang meriasnya.
Jenazahnya tampak lembut dan cantik, dan arwah-arwah
yang pernah didandaninya pasti akan sangat menyayanginya.
Kadang perias jenazah itu diam-diam memasuki tidurku
dan merenungi wajahku. Seakan ia tahu bahwa aku
yatim piatu, tidak jelas asal-usulnya, serba gelap identitasnya.
Kulihat wajah cantiknya berkelebatan di atas ranjang kata-kataku.
(2002)
Ini Januari, bulan yang rajin mandi. Di sebuah gang lengang di sudut Januari saya berpapasan dengan seorang perempuan muda, wajahnya milik trauma. Kepalanya agak tunduk, matanya sedikit sembab seperti habis menangis. Saya urung menyapanya dengan selamat pagi karena ia tampak cuek sekali. Ia biarkan serbuk hujan bertaburan di atas rambutnya yang diikat begitu saja, mengguyuri baju putih lengan panjang, celana blue jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu tok-tok kecoklat-coklatan. Seakan ia ingin bilang Selamat tinggal kecantikan! Saya terkesima: rasanya saya pernah melihatnya entah di mana. Sebelum saya sempat mengingatnya, tubuhnya keburu lenyap ditelan tikungan.
Malamnya saya bermesra-mesraan dengan demam setelah seharian banyak minum hujan. Dalam demam saya tergoda untuk menjumpai para penyair kesayangan saya. Buat orang semelankolis saya, membaca puisi sering lebih mujarab dari minum obat dan saya berusaha tidak telat minum puisi sebab akibatnya bisa gawat. Nah, itu dia. Saya terhenti lama di sebuah sajak Sapardi Djoko Damono, “Pada Suatu Pagi Hari”:
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Intuisi saya mengatakan bahwa perempuan yang berpapasan dengan saya di gang lengang pagi tadi adalah perempuan dalam sajak Sapardi. Saya akan menanyakannya ke yang bersangkutan suatu saat nanti.
***
Atas petunjuk seorang teman, akhirnya saya jadi menempati rumah besar yang letaknya agak terpencil di pinggir sungai, meskipun banyak orang menganjurkan jangan karena rumah itu angker, ada jinnya, dan memang setiap orang yang pernah tinggal di situ cuma tahan sebentar, lalu pergi mencari rumah kontrakan lain yang lebih aman.
Konon rumah itu ditunggui seorang laki-laki tanpa celana yang suka muncul malam-malam ketika penghuninya terjaga, dan ia paling suka mencegat orang yang sedang tergopoh-gopoh ke kamar mandi. Oleh seorang penyair saya disarankan cepat-cepat telanjang bila ia datang, lalu katakan selamat malam. Maka, setelah mengucapkan Terima kasih Nona, ia akan segera pamit dan menghilang.
Beberapa bulan tinggal di rumah itu, saya tidak pernah mendapat gangguan apa-apa selain serbuan tikus-tikus yang cericitnya membuat keheningan terasa makin menggema sehingga saya bisa dengan tenang menulis novel yang sudah lama saya idam-idamkan. Kecurigaan baru muncul ketika suatu hari saya jatuh sakit. Dalam sakit saya sering mendengar suara orang batuk di kamar mandi, kadang disertai jeritan Sakit euy!
Suatu malam, ketika sedang terhuyung-huyung ke kamar mandi untuk buang sakit, saya dihadang seorang laki-laki tanpa celana dengan darah mengucur dari kelaminnya. Seketika saya ucapkan selamat malam sambil saya tatap wajahnya yang meringis kesakitan, dan seketika pula ia menghilang sebelum saya sempat telanjang.
Saat itulah samar-samar saya melihat bayangan wajah ayah saya yang di suatu pagi buta, dulu, dijemput beberapa orang tak dikenal berwajah seram dan sejak itu saya tak pernah lagi melihatnya. Saya mengingatnya sayup-sayup saja karena waktu itu saya baru enam tahun. Konon ayah saya seorang penyair yang berani, meskipun karyanya tidak hebat-hebat amat. Saya tidak tahu bagaimana persisnya, tapi saya pernah mendengar cerita orang-orang tentang seniman dan demonstran yang diculik kemudian disiksa, bahkan katanya ada yang sampai dikerat kemaluannya.
Terbayang wajah laki-laki tanpa celana, saya segera teringat sebuah puisi Sapardi Djoko Damono yang sangat saya hafal salah satu baitnya:
Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
Berkali-kali saya keluar-masuk puisi itu dan akhirnya saya yakin bahwa laki-laki tanpa celana yang meringis kesakitan itu adalah laki-laki yang saya jumpai dalam sajak Sapardi. Semula saya berniat menanyakan hal ini langsung kepada penyairnya, tapi lalu saya pikir untuk apa, sebab Sapardi pasti akan mengatakan bahwa pengarang telah mati.
***
Sebagai wartawan yang boleh dibilang agak kurang kerjaan, saya sering menyempatkan diri menelusuri jejak perempuan itu. Belakangan saya tahu bahwa ia tinggal sendirian di sebuah rumah angker di pinggir sungai. Saya sering pura-pura lewat di depan rumahnya hanya untuk memastikan bahwa ia memang tinggal di sana. Kadang-kadang saya melihat ia berdiri lama di depan jendela, bercakap-cakap dengan senja.
Saya memutuskan untuk menemui perempuan misterius itu karena memang ada hal penting yang ingin saya tanyakan. Saat itu sedang berlangsung demonstrasi besar-besaran menentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang diikuti dengan makin anjloknya harga manusia. Saya melihatnya di tengah kerumunan demonstran sedang mengacung-acungkan tangan sambil meneriakkan kata-kata yang tidak bisa saya dengar jelas bunyinya. Saya dekati dia, saya ajak ke tempat yang agak sepi untuk, katakanlah, semacam wawancara.
“Non, sepertinya saya pernah melihat Non dalam sajak Sapardi, ‘Pada Suatu Pagi Hari’.”
Ia tampak bingung dan tidak mengerti apa yang saya katakan.
“Mengapa pagi itu Non kelihatan habis menangis? Sepertinya baru pulang dari kuburan. Siapa yang meninggal, Non?”
Ia makin bingung dan tampak mulai curiga dengan kesehatan jiwa saya. Setelah minta maaf kalau-kalau kelakuan saya telah melukai perasaannya, saya katakan bahwa Sapardi titip salam untuknya (padahal cuma akal-akalan saya saja).
“Sapardi? Pangeran dari mana? Saya nggak kenal tuh.”
Tanpa permisi, cepat-cepat saya tinggalkan dia.
***
Saya mengasingkan diri ke rumah ini, meninggalkan ibu dan saudara-saudara saya, karena saya tak ingin terpenjara dalam kepedihan masa lalu saya. Toh setiap akhir pekan saya sempatkan pulang ke rumah Ibu, menghirup kehangatan dan kedamaiannya. Saya tidak pernah bercerita kepada Ibu bahwa alasan utama saya pergi menyendiri adalah karena ingin menulis sebuah kisah, bukan karena tak bisa berdamai dengan rumah.
Ketika novel yang sedang saya tulis mulai terancam macet, laki-laki tanpa celana itu muncul lagi. Ia sering datang lewat tengah malam ketika saya sudah lelap di pembaringan. Ia duduk di kursi yang biasa saya duduki, mencelupkan pena pada darah yang menyembul dari kelaminnya, lalu menuliskan kata-kata di atas halaman-halaman buku yang terbuka di atas meja kerja saya. Sesekali, saat terjaga, saya dengar ia mengerang, Sakit euy! Ah, laki-laki tanpa celana itu, dengan caranya sendiri, telah ikut menyelesaikan novel saya.
Banyak orang heran dan tak habis pikir, bagaimana mungkin perempuan selembut saya (padahal sebenarnya saya agak cerewet dan keras kepala) bisa betah dan tenang-tenang saja tinggal di rumah terpencil yang menurut mereka sangat menakutkan. Mereka kemudian menyebut saya perempuan sakti karena dianggap mampu mengusir jin laki-laki tanpa celana yang konon sudah menelan banyak korban. Ada yang bahkan meminta saya menyembuhkan penyakit aneh yang bersarang di tubuhnya.
Oh ya, tentu saya tahu bahwa laki-laki yang berpapasan dengan saya di gang lengang itu diam-diam suka memantau keberadaan saya. Tampaknya dia memang wartawan yang agak kurang kerjaan karena sering mencari-cari kesempatan hanya untuk memperhatikan atau minta perhatian saya. Seperti tidak ada bahan berita saja. Jangan-jangan dia naksir saya tapi tidak berani atau malu berterus terang. Gombal ah!
***
Setelah beberapa lama tidak mengikuti jejaknya, tiba-tiba saya mendapat undangan untuk menghadiri malam peluncuran novel perdananya: Laki-laki Tanpa Celana. Sayang sekali saya datang agak terlambat. Ketika sampai di tempat acara, saya lihat perempuan itu sedang sibuk menjawab pertanyaan orang-orang yang tanpa membaca karyanya terlebih dulu sudah berani menyatakan diri sebagai penggemarnya. Gila, perempuan itu mengenakan semua yang ia kenakan saat berpapasan dengan saya di gang lengang itu: baju putih lengan panjang, celana blue jeans yang sedikit pudar warnanya, dan sepatu tok-tok kecoklat-coklatan. Rambutnya pun diikat begitu saja. Dan matanya sangat kenangan. Saya memperhatikannya dari jauh dan diam-diam mengagumi keindahan bicaranya.
Saya hampir tak percaya melihat Sapardi duduk manis di samping perempuan itu, memberikan komentar sambil membolak-balik halaman-halaman buku Laki-laki Tanpa Celana yang disebutnya memikat antara lain karena tokohnya luar biasa. Sesekali mereka berdua terlihat berbincang akrab sambil ketawa-ketawa, padahal dulu perempuan itu mengaku tidak mengenalnya. Saya tidak tahu apakah mereka diam-diam bersekongkol untuk menghancurkan mental saya. Mudah-mudahan cuma kebetulan saja.
Mungkin sudah menjadi suratan nasib saya, ketika saya hendak menyodorkan buku novelnya dan minta tanda tangannya, perempuan itu seakan-akan tidak mengenal saya, bahkan menjauh menghindari saya. Entah mengapa tiba-tiba saya merasa sangat nelangsa. Dan, sebagaimana tersabdakan dalam sajak Sapardi, malam itu saya ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong yang gelap. Saya ingin malam itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar saya bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa.
(2002/2003)
Setelah punya rumah, apa cita-citamu? Kecil saja:
ingin sampai rumah saat senja supaya saya
dan senja sempat minum teh bersama di depan jendela.
Ah cita-cita. Makin hari kesibukan makin bertumpuk,
uang makin banyak maunya, jalanan macet, akhirnya
pulang terlambat. Seperti turis lokal saja, singgah
menginap di rumah sendiri buat sekedar melepas penat.
Terberkatilah waktu yang dengan tekun dan sabar
membangun sengkarut tubuhku menjadi rumah besar
yang ditunggui seorang ibu. Ibuwaktu berbisik mesra,
“Sudah kubuatkan sarang senja di bujur barat tubuhmu.
Senja sedang berhangat-hangat di dalam sarangnya.”
(2003)
Kau adalah mata, aku airmatamu.
(2003)
Pawai tahun baru baru saja dibubarkan sepi.
Sisa suara terompet berceceran, sebentar lagi basi.
Lelaki tua berulang kali menghitung receh di tangan,
barang dagangannya sedikit sekali terbeli.
“Makin lama waktu makin tidak laku,” ia berkeluh sendiri.
Anaknya tertidur pulas di atas tumpukan kalender
yang sudah mereka jajakan berhari-hari.
Lelaki tua membangunkan anaknya. “Tahun baru
sudah tiba, Plato. Ayo pulang. Besok kembalikan saja
kalender-kalender ini kepada pengrajin waktu.”
Perempuan itu masih setia menanti ketika dua orang
pejuang pulang dinihari. “Selamat tahun baru, tuan-tuan!”
Tuan besar segera mampus dihajar kantuknya.
Tuan kecil segera ingin menyambung tidurnya.
Ibunya menepuk pantatnya: “Kau telah dinakali waktu,
Buyung? Kok tubuhmu terhuyung-huyung?”
Ia ibu yang pandai merawat waktu. Terberkatilah waktu.
Dengan sabar dibongkarnya tumpukan kalender itu.
Ha! Berkas-berkas kalender itu sudah kosong,
ribuan angka dan hurufnya lenyap semua. Dalam sekejap
ribuan kunang-kunang berhamburan memenuhi ruangan.
(2003)
Di bawah pohon cemara gadis kecil itu sejak tadi
duduk termenung. Ia ingin datang ke pesta
ulang tahun temannya, tapi malu dengan bajunya
yang rombeng dimakan waktu.
Matanya menerawang memandang kerlap-kerlip
lampu di dinding gereja. Seorang sahabatnya
datang mendekat, bajunya putih gemerlap.
Sambil makan permen mereka berbincang hangat.
“Pergilah ke pesta. Kau bisa memakai bajuku
dan aku tak akan malu memakai bajumu.”
Di bawah pohon cemara mereka bertukar baju.
Pulang dari gereja, ia tak melihat lagi sahabatnya
padahal ia ingin mengembalikan bajunya.
Hanya ada bungkus permen bertebaran di bawah
pohon cemara. Tiba-tiba, “Hai, aku di sini!”
Ia mendongak ke langit. Ia terpana melihat
bintang Natal memamerkan bajunya. “Itu bajuku!”
ia berseru dalam hati. Dengan mata berkaca-kaca
dilambaikannya tangannya ke atas sana.
Di bawah pohon hujan gadis kecil itu sejak tadi
duduk berteduh. Ia kesepian menunggu temannya
yang tadi ia pinjami bajunya.
Daun-daun hujan berguguran sepanjang subuh.
(2003)
Malam ini nenek bulan tampak kucel dan kusam.
Langit seperti kain bekas yang dipakai untuk mengusap
wajah seorang pesolek yang sedang muram.
Pelukis kecil sedang gelisah di malam mungil.
Gundah melihat neneknya yang dekil.
“Tunggu sebentar ya, Nek, kubikinkan sesuatu untukmu.”
Dengan pinsil warna-warni dirajutnya raut mimpi
yang masih murni. “Kok seperti gambar rok mini?”
Nenek bulan tersenyum geli. “Ini rok mini untukmu, Nek.
Harganya mahal sekali. Pakailah supaya kau tampak seksi.”
Berdua mereka tertawa. Lupa waktu, lupa derita.
“Sudah. Nenek pulang dulu. Belajarlah.
Nanti ibumu marah. Besok kau harus sekolah.”
Pelukis kecil sudah ngantuk dan lelah, lalu tertidur
sebelum sempat merampungkan banyak pekerjaan rumah.
(2003)
Ibu suka membacakan buku untuk menghantar tidurku.
Aku terbuai mendengarkan ibu dan buku, mendengarkan
ibuku, sambil membayangkan dan bertanya ini itu.
Aku pun terlelap dalam mimpi, terbang ke tempat-tempat
yang belum kukenali. Ketika bangun, kurasakan basah
di celana. Wah, beta telah ngompol dalam dekapan bunda.
Bila aku pamit sekolah, ibu tak pernah bilang jangan nakal
dan bodoh, jangan membantah guru dan menyanggah buku.
Ibu hanya mengecup jidatku: Buka hidupmu dengan buku.
Pada saatnya beta harus meninggalkan bunda sebab tak bisa
selamanya menyusu pada ibu. Aku harus mencari susu baru.
Sambil menahan airmata, ibu memeluk dan menciumku:
Pergilah. Terbanglah. Aku pun terbang bersayapkan buku
ke antah-berantah yang bagiku sendiri masih entah.
Ketika suatu saat aku pulang ke rumah ibu,
ibu sudah menjadi buku yang tersimpan manis di rak buku.
(2003)
untuk Efaen
Pacar kecil duduk manis di jendela,
menemani senja. Senja, katanya, seperti ibu
yang cantik dan capek setelah seharian dikerjain kerja.
Ia bersiul ke senja seksi yang tinggal
tampak kerdipnya: Selamat tidur, kekasihku.
Esok pagi kau tentu akan datang dengan rambut baru.
Kupetik pipinya yang ranum,
kuminum dukanya yang belum: Kekasihku,
senja dan sendu telah diawetkan dalam kristal matamu.
(2003)
Bulan, aku mau Lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak warna-warni
baju buatan. Bulan mencopot bajunya yang keperakan,
mengenakannya pada gadis kecil yang sering ia lihat
menangis di persimpangan jalan. Bulan sendiri
rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
(2003)
Ibu tua itu tewas sehabis berjuang keras mendapatkan
sedekah dari seorang juragan yang amat pemurah.
Ia terjatuh terinjak-injak sewaktu berdesak-desakan,
sesaat setelah diterima oleh uang dua puluh ribu rupiah.
“Hanya demi uang sialan itu ia harus setor nyawa,”
cetus seorang pelayat. “Jangan-jangan itu uang haram.”
Uang berkata, “Maafkan saya, Bu. Saya tidak sengaja.”
Toh ibu kita yang sehari-hari bekerja sebagai buruh cuci
pakaian itu wajahnya bersih bercahaya seperti habis dicuci
dengan sabun terbaik yang terbuat dari serbuk airmata.
Sesal dan tangis hanya menambah kecantikannya.
“Sudahlah. Dengan dua puluh ribu rupiah ibu ini bisa beli
tiket kereta api ekspres. Beliau akan mudik dengan sukses,”
ujar seorang penyair yang oleh teman-temannya dipanggil
Plato karena nun di jidatnya terdapat sebuah tato.
Kereta hampir berangkat. Uang yang naas tampak ikhlas
dan pasrah dalam genggaman tangan almarhumah.
Uang yang tak seberapa ini kemudian disimpan baik-baik
oleh cucu ibu yang gigih itu dan kelak akan ia berikan
kepada entah siapa yang pantas menerimanya.
(2003)
Belakangan ini saya banyak mendapat gangguan mata.
Apa dan siapa yang saya lihat sering tampak bergoyang.
Bahkan mata saya kadang salah sangka.
Saat bercermin, misalnya, saya merasa bahwa tuan
yang sedang mengagumi saya adalah kenalan lama saya.
Ternyata ia lupa dan mengajak kenalan ulang.
Selain salah lihat, mata saya sering dianggap salah baca.
Saya baca buku, buku bilang salah, baca lagi, salah lagi.
Tak terkecuali buku-buku yang saya tulis sendiri.
Malam ini sakit mata saya makin akut: nyeri, pusing,
berdenyut-denyut. Maka datanglah seorang dokter mata:
“Selamat malam, pasien.” Tanpa bicara ia periksa mata saya.
“Dokter, apakah saya harus pakai kacamata?”
“Tidak perlu kacamata. Hanya perlu dicungkil.”
Dicungkil? Saya tidak dapat membayangkan mata saya
harus diganti dengan mata buatan atau bekas mata
orang lain. Saya diminta berdoa dan tidur tenang
sementara ia akan menggarap mata saya.
Subuh hari saya terbangun. Dokter mata sudah pergi.
Aneh, semua terasa nyaman dan normal kembali.
Saya segera mendatangi cermin langganan saya
dan saya terkejut tiba-tiba bertemu dengan dokter mata itu.
“Dokter, apakah Anda telah mengganti mata saya?”
“Ah enggak. Aku cuma membersihkan dan merendam
matamu dalam airmataku, kemudian mengembalikannya
seperti semula. Kau pangling dengan matamu?”
“Terima kasih, Dokter.” Dan dokter mataku tampak
ingin menangis, tapi ia tidak ingin aku melihat airmatanya.
(2003)
Ia muncul begitu saja di ambang pintu setelah lama
tidak bertemu. Matanya terkejut, kepalanya bergoyang
kena hantam dentang jam di dinding ruang tamu.
“Maafkan aku, kawan. Sekian tahun tak jumpa,
aku mampir ke rumahmu hanya untuk numpang
ke kamar mandi. Boleh, kan?”
Petang itu saya sedang melamun di halaman koran.
“Silahkan,” jawab saya singkat. Lalu ia meluncur cepat
ke kamar mandi. Entah apa yang ia perbuat.
Dari jauh berkali-kali saya mendengar ia mengumpat,
meneriakkan bangsat, jahanam, keparat.
Usai bergiat di kamar mandi, wajahnya dibalut misteri.
“Setelah menjadi bintang panggung yang sukses,
aku merasa ngeri dengan topeng culun di dinding
kamar mandimu. Wajahnya sinis, dan aku tersinggung:
kok tampang kami tampak makin akur saja.”
Bukankah dia sendiri yang dulu menghadiahkan
topeng itu kepada saya? Saya periksa si culun,
wajahnya tetap saja begitu: dingin, menggoda, pemalu.
Jangan-jangan tampang waktu memang bisa tampak
berbeda-beda, tergantung siapa yang melihatnya,
tergantung siapa yang dilihatnya.
(2003)
Walau punya bermacam-macam celana tidur,
ia lebih suka tidur tanpa celana.
Supaya celana bisa tidur di luar tubuhnya.
Supaya tidurnya tidak rusak oleh celana.
(2003)
buat Wien & A’an
Aku datang ke dalam engkau,
ke rumah rantau yang melindap
di antara dua bukit
di mana senja mengerjap-ngerjap
dalam kerlap birulangit.
Ada sejoli celana berkibar-kibar
di balik jendela:
Hai, kami sedang belajar bahagia.
Ada buku masih terbuka di atas meja
dan ada ayat rahasia:
Miskin mungkin bencana,
tapi kaya juga cuma karunia.
Aku pulang ke dalam engkau,
ke rumah singgah yang terlindung
di antara dua kubah
di mana ia datang berkerudungkan bulan,
merapikan tubuh yang berantakan
dan berkata: Supaya tidurmu makin sederhana.
(2003)
Tiada pengembara yang tak merindukan
sebuah rumah, bahkan jika rumahnya hanya ada
di balik iklan yang ia baca di perjalanan.
Tiada rumah yang tak merindukan seorang ibu
yang murah berkah, bahkan jika ibu tinggal ada
di bingkai foto yang mulai kusam.
Lebih baik punya ibu daripada punya rumah,
kata temanku yang rumahnya konon baru enam
sementara sosok ibunya belum juga ia temukan.
Ya lebih baik punya keduanya, kata saya,
dan entah mengapa airmatanya leleh perlahan.
(2003)
Koran pagi masih mengepul di atas meja. Wartawan itu
belum juga menyantapnya. Ia masih tertidur di kursi
setelah seharian digesa-gesa berita.
Seperti biasa, untuk melawan pening ia menepuk kening.
Lolos dari deadline, ia terlelap. Capeknya lengkap.
Tahun-tahun memutih pada uban yang letih.
Entah sudah berapa orang peristiwa, berapa ya,
melintasi jalur-jalur waktu di kerut wajah.
Ke suaka ingatan mereka hijrah.
Almarhum bapaknya sebenarnya tak suka ia susah-susah
jadi reporter. Lebih baik jadi artis yang kerjanya
diuber-uber wartawan. Ibunya berharap ia jadi dokter
agar dapat merawat tubuhnya sendiri yang sakit-sakitan.
Siang itu, bersama teman-teman sekelasnya, ia sedang
berlatih mengarang. Sementara kawan-kawannya sibuk
bermain kata, ia bengong saja sambil menggigit-gigit pena
meskipun bu guru berkali-kali mengingatkan
bahwa cara terbaik untuk mulai menulis adalah menulis.
Entah bagaimana mulanya, tiba-tiba terjadi kebakaran.
Bu guru dan murid-muridnya segera berhamburan keluar.
Belakangan beredar kabar bahwa gedung sekolahnya
sengaja dibakar komplotan perusuh berlagak pahlawan.
Saat itu situasi memang sedang rawan, penuh pergolakan.
Tanpa menghiraukan bahaya, bocah bego itu malah
sibuk mencari-cari pena yang terjatuh dari meja. Bu guru
nekad menyusulnya, sementara api makin berkobar
dan semua panik: jangan-jangan mereka ikut terbakar.
Setelah pensiun, bu guru yang pintar itu sibuk mengurus
kios koran kebanggaannya. Sedangkan muridnya
yang suka bengong kini sedang lelap di kursi, matanya
setengah terbuka. Koran pagi masih mengepul di atas meja.
(2003)
Surat-surat datang silih berganti, semuanya minta
dijawab, segera, kalau bisa hari ini.
Konon menulis surat bisa membasmi sepi.
Padahal hanya kalau sepi aku bisa dengan tenang
menulis surat agar jangan sampai kata-kataku menyakiti.
Surat ayah: Ayah menang, habis tempur melawan utang.
Surat ibu: Ibu sedang menjahit senja yang terluka
oleh rinduku. Surat istri: Telah kupanen putih
dari rambutmu. Surat teman: Teman, batukmu meletus
dalam dadaku. Surat penggemar: Salam manis buat iblis.
Ada pula surat dari masa kecil, datang di malam eksil,
ah pasti ditulis dengan pinsil. Kubuka amplopnya
yang warna-warni, isinya: Ayo duel kalau berani!
Suratan nasib: tersimpan rapat di laci meja
dan tak akan pernah kubuka.
(2003)
Malam pertama tidur bersamamu, aku terkenang
saat-saat manis bersama ibuku ketika dengan lembut
dan jenaka ia mengajariku mandi dan memakai celana
hingga kurasakan sentuhan ajaib tangan-tangan cinta
tanpa bisa kuucapkan terima kasih padanya
selain tersenyum dan tertawa.
Lalu ibu menjebloskanku ke sekolah. Bertahun-tahun
aku belajar bahasa yang baik dan benar hanya
untuk bisa mengucapkan cinta monyet dengan lugu
dan malu-malu tanpa menyadari bahayanya.
Setelah dewasa aku paham bagaimana menyatakan
cinta tanpa harus mengatakannya.
Kini aku harus menidurimu. Tubuhmu pelan-pelan
terbuka dan merebaklah bau masam dari ketiakmu.
Aku gugup. Tapi tak mungkin kupanggil almarhumah
ibuku untuk mengajariku membaca halaman-halaman
tubuhmu sebagaimana dulu dengan tekun dan sabar
ia mengajariku membaca kalimat-kalimat sederhana:
ini ibu budi; budi minum susu; ini susu ibu.
Malam pertama tidur bersamamu, buku, kulacak lagi
paragraf-paragraf cinta ibuku di rimba kata-katamu.
Apakah kata-kata mempunyai ibu?
Aku mencoba mengingat-ingat lagi apa kata ibu.
Aku sering lupa dulu ibu suka berkata apa.
Aku gemetar. Tubuhmu makin cerdas dan berbahaya.
Ibukata, temanilah aku.
(2003)
Hanya ada dua orang peronda datang ke gardu itu.
Mereka duduk berhadapan, mengobrol ke sana kemari,
bercerita tentang kekasih masing-masing
dengan wajah berapi-api. Peronda tua membanggakan
isterinya yang cintanya penuh misteri. Peronda muda
memuji-muji ibunya yang cintanya tak terbeli.
Sesekali mereka terdiam, beradu pandang, membiarkan
hujan mengoceh sendiri. “Kau menantangku?”
Tiba-tiba mereka bersitegang karena masing-masing
tersinggung oleh sorot mata yang penuh kebencian.
Hujan bubar menjelang dinihari dan sepi tak perlu lagi
ditemani. “Bosan, nggak ada penjahat. Kita pulang saja.”
Pulang ke gardu lain yang lebih hangat.
Sampai di teras rumah, mereka berebut membuka pintu.
Peronda tua tak mau kalah: “Biar kubuka pintu ini
dengan kunciku. Kunci yang kaubawa itu palsu!”
Kucing meluncur menuju dapur. “Bu, tuan-tuan pulang!”
kucing mengiau kepada perempuan yang sedang
terkantuk-kantuk di depan kompor, menjerang air
dan airmata, mau bikin kopi buat lelaki-lelaki tercinta.
Dua lelaki berjabat tangan erat-erat, saling mengucap
selamat istirahat. “Selamat tidur di ranjang palsu ya, Pak,”
ujar lelaki muda dengan wajah sinis bercampur bangga.
Palsu? Perempuan yang sedang terkantuk-kantuk
di depan kompor itu tiba-tiba tersentak.
Dua butir airmatanya jatuh berdenting.
Ia teringat bagaimana dulu ia bertempur di atas ranjang,
melahirkan anaknya persis saat suaminya sedang
termenung sendirian di gardu ronda di malam hujan.
(2003)
Dua puluh tahun yang lalu ia dilepas ayahnya
di gerbang depan rumahnya.
“Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina.
Jangan pulang sebelum benar-benar jadi orang.”
Dua puluh tahun yang lalu ia tak punya celana
yang cukup pantas untuk dipakai ke kota.
Terpaksa ia pakai celana ayahnya.
Memang agak kedodoran, tapi cukup keren juga.
“Selamat jalan. Hati-hati, jangan sampai
celanaku hilang.”
Senja makin menumpuk di atas meja.
Senja yang merah tua.
Ibunya sering menangis memikirkan nasibnya.
Ayahnya suka menggerutu,
“Kembalikan dong celanaku!”
Haha, si bangsat akhirnya datang.
Datang di akhir petang bersama buku-buku
yang ditulisnya di perantauan.
Ibunya segera membimbingnya ke meja perjamuan.
“Kenalkan, ini jagoanku.” Ia tersipu-sipu.
Saudara-saudaranya mencoba menahan tangis
melihat kepalanya berambutkan gerimis.
“Hai, ubanmu subur berkat puisi?” Ia tertawa geli.
Di atas meja perjamuan jenazah ayahnya
telentang tenang berselimutkan mambang.
Daun-daun kalender beterbangan.
“Ayah berpesan apa?” Ia terbata-bata.
“Ayahmu cuma sempat bilang, kalau mati ia ingin
mengenakan celana kesayangannya:
celana yang dulu kaupakai itu.”
Diciumnya jidat ayahnya sepenuh kenangan.
Tubuh yang tak butuh lagi celana adalah sakramen.
Celana yang tak kembali adalah testamen.
“Yah, maafkan aku. Celanamu terselip
di tetumpukan kata-kataku.”
(2003)
Senja mengajak pacarnya duduk-duduk di pantai.
Pantai sudah sepi dan tak akan ada yang peduli.
Pacar senja sangat pendiam: ia senyum-senyum saja
mendengarkan gurauan senja. Bila senja minta peluk,
setengah saja, pacar senja tersipu-sipu.
“Nanti saja kalau sudah gelap. Malu dilihat lanskap.”
Cinta seperti penyair berdarah dingin
yang pandai menorehkan luka.
Rindu seperti sajak sederhana yang tak ada matinya.
Tak terasa senyap pun tiba: senja tahu-tahu
melengos ke cakrawala, meninggalkan pacar senja
yang masih megap-megap oleh ciuman senja.
“Mengapa kau tinggalkan aku sebelum sempat
kurapikan lagi waktu? Betapa lekas cium
menjadi bekas. Betapa curangnya rindu.
Awas, akan kupeluk habis kau esok hari.”
Pantai telah gelap. Ada yang tak bisa lelap.
Pacar senja berangsur lebur, luluh, menggelegak
dalam gemuruh ombak.
(2003)
Aku tidak bisa berjanji akan datang ke dalam pesta
di mana akan kaupertemukan aku dengan sajak-sajakku,
seperti mempertemukan dua anak rantau yang lama
memendam rindu tapi pura-pura sungkan bertemu.
Sajakku hanya sisa tangis seorang bocah yang ditinggal
ibunya pergi cari obat dan tidak juga kembali, sementara
panas tubuhnya terus meninggi. “Cepat pulang, Bu!”
Bocah itu tampak bahagia duduk bersamamu di pesta.
Tapi aku tidak bisa berjanji akan datang ke sana.
(2004)
Bunga azalea
tumbuh liar di bawah jendela.
Mekar, segar, dan bercahaya.
Bunga paling pacar,
paling disayang waktu.
Bunga yang kubawa
dari lembah Maria.
Bunga azalea
tumbuh liar di rimbun aksara.
Mekar, segar, dan bersahaja.
(2004)
untuk lukisan Jeihan
Di kotakata masih ada mata yang hening pandang.
Matawaktu, matasunyi: memanggil, menelan.
Seperti gua yang menyimpan hangat di dalam.
Ceruk cinta yang haus warna. Ceruk perempuan.
Malam ini aku akan tidur di matamu.
(2004)
Rumah adalah rumah sakit yang paling nyaman
dan murah, sebab, kalau mau, kau bisa sakit sepuasmu.
Ada perawat seksi yang, meskipun bawel, tak pernah
bosan menemanimu, sangat sabar mengasuh sakitmu
supaya makin kuat dan dewasa dan makin mengasihimu.
Sementara nafasmu terengah-engah dan nyerimu
bertambah parah, enak saja ia bicara, “Hanya orang lemah
yang tak mau sakit.” Bahkan ia suka menantang,
“Kalau mau sakit, jangan setengah-setengah.”
Perawat yang satu ini selalu hadir di setiap sudut rumah.
Di album foto yang banyak bercerita tentang masa kecil
kurang bahagia. Di almarhum kalender yang cuma bisa
meninggalkan sekian banyak rencana. Di ruang tidur
yang penuh dengan insomnia. Di kamar mandi yang saat
kau mandi pintunya tetap kaukunci walau kau cuma
sendirian di rumah -- entah kau takut atau malu pada siapa.
Di robekan celana yang kaujahit malam-malam
sambil tersedu-sedu sehingga kau malah menjahit jarimu.
Bila tak ada lagi obat yang kauanggap mujarab,
dengan lembut dan hangat perawatmu mencium jidatmu:
“Minumlah aku, telanlah aku, makanlah aku.”
(2004)
Rumah masih saja terasa hampa walau sudah kuisi
dengan berbagai macam barang berharga.
Kamar tamu terasa sepi walau kau tahan menunggu
dalam rinduku. Kamar tidur terasa mati walau kau
rajin mendengkur dalam tidurku. Kamar mandi
terasa sunyi walau kau suka menggigil dalam mandiku.
Aku sering bengong dan pusing memikirkan apa
yang membuat rumahku terasa kosong dan asing.
Mudah-mudahan bukan karena aku terlampau banyak
memasang fotoku di hampir semua dinding.
(2004)
Februari yang ungu berderai pelan sepanjang malam,
menyirami daun-daun kalender yang mulai kering.
Aku melangkah ke dinding, membetulkan penanggalan
yang tampak miring. “Jangan gemetar. Aku baik-baik saja.
Tua cuma perasaan,” kata kalenderku yang pendiam.
Kuhitung berapa tanggal telah tanggal, berapa pula
tinggal tangkai. Sambil menggigil kalenderku berpesan,
“Jangan mau dipermainkan angka. Tua cuma pikiran.”
Kalenderku suka tertawa membaca catatan yang kutulis
dengan tinta merah jingga: Ah, bulan terlambat datang.
Ah, bulan datang terlambat. Oh, datang bulan terlambat.
Februari yang ungu kuncup mekar sepanjang malam
pada tangkai-tangkai kalender yang mulai gersang.
(2004)
untuk Butet Kartaredjasa
dan Djaduk Ferianto
Dua anak jalanan bertemu di bawah jembatan
di malam hujan. Setelah berkenalan, berbagi dingin
dan lapar, mereka tidur berdua dalam satu celana.
Suatu hari mereka berpisah juga, mencari jalan hidup
sendiri-sendiri. Siapa sangka mereka akan jadi bintang.
Mereka berjumpa kembali di atas panggung,
sekian tahun kemudian. Yang satu pandai menirukan
suara bermacam-macam orang, yang lain pintar
memainkan beragam bunyi dan bunyi-bunyian.
Sejak itu kami sering berburu bunyi dan berburu suara
bersama. Bila kami bertemu pengamen kecil di bawah
jembatan, kami suka bersitegang. “Dia mirip kamu,”
kata saya. Dia balik menuding: “Kamu yang mirip dia.”
Kami sendiri masih merasa seperti gelandangan kecil
yang berkeliaran di jalanan, mengamen siang malam,
untuk mencari tahu siapa ibubunyi dan ibusuara
yang telah mempertemukan kami di sebuah celana.
(2004)
Tiba di stasiun kereta, aku langsung cari ojek.
Entah nasib baik, entah nasib buruk, aku mendapat
tukang ojek yang, astaga, adalah guru Sejarah-ku dulu.
“Wah, juragan dari Jakarta pulang kampung,”
beliau menyapa. Aku jadi malu dan salah tingkah.
“Bapak tidak berkeberatan mengantar saya ke rumah?”
Nyaman sekali rasanya diantar pulang Pak Guru
sampai tak terasa ojek sudah berhenti di depan rumah.
Ah, aku ingin kasih bayaran yang mengejutkan.
Dasar sial. Belum sempat kubuka dompet, beliau
sudah lebih dulu permisi lantas melesat begitu saja.
Di teras rumah Ayah sedang tekun membaca koran.
Koran tampak capek dibaca Ayah sampai huruf-hurufnya
berguguran ke lantai, berhamburan ke halaman.
Tak ada angin tak ada hujan, Ayah tiba-tiba
bangkit berdiri dan berseru padaku: “Dengan kata lain,
kamu tak akan pernah bisa membayar gurumu.”
(2004)
Permainan sudah selesai. Perburuan tak akan usai.
Kostum, bendera, spanduk bertebaran di pinggir arena.
Ribuan penonton telah pulang meninggalkan stadion,
tempat yang kalah dan yang menang bertukar celana.
Maafkan kami yang tak juga paham rahasia bola.
Di tengah lapangan Maradona masih menari di atas bola:
bulatan nasib yang selembut doa; buntalan daging
yang membalut kandungan bunda, tempat janin kudus
mengarungi hari-hari agung penciptaan; puisi pengembara
yang ditenun dari benang-benang aksara.
Aku ingin masuk ke dalam bola, ingin meringkuk di sana.
(2004)
untuk Landung Simatupang
Tubuhnya lebih dari puisi,
penuh getar dan getir bunyi.
Sekali ia menyentuh panggung,
waktu seakan linglung dihajar tenung.
Di remang ruang tubuhnya menyala
sehingga sunyi terlihat jelas posturnya.
(2004)
Matakata menyala melihat tetes darah di matapena.
(2004)
Batuk, beri aku letusan-letusan lembutmu
untuk menggempur limbah waktu
yang membatu di rongga dadaku.
(2004)
Setelah tugas-tugas di ranjang
kubereskan, badai kuredakan, aku hijrah
ke jauh tubuhmu, menyusuri
jalan setapak yang terjal berliku, melintasi
daerah-daerah berbahayamu,
sebelum sampai di perhentian terakhir
di mana aku disalibkan di sebuah ujung
dan tubuhmu tinggal raung.
(2004)
Aku tidur di remang tubuhmu
sampai kau lelap dalam ombak dan deru.
Saat ombak surut dan waktu terbungkus kabut,
mimpi baru setengah jadi. “Ayo melaut lagi!”
Melautlah lagi. Aku sedang mati.
(2004)
Telepon berkali-kali berdering, kubiarkan saja.
Sudah sering aku terima telepon dan bertanya
“siapa ini?”, jawabnya cuma “ini siapa?".
Ada dering telepon, panjang dan keras,
dalam rongga dadaku.
“Ini siapa, tengah malam telepon?
Mengganggu saja.”
“Ini Ibu, Nak. Apa kabar?”
“Ibu! Ibu di mana?”
“Di dalam.”
“Di dalam telepon?”
“Di dalam sakitmu.”
Ah, malam ini tidurku akan nyenyak.
Malam ini sakitku akan nyenyak tidurnya.
(2004)
Ia gemetar naik ke ranjang,
sebab menginjak ranjang serasa menginjak
rangka tubuh ibunya yang sedang sembahyang.
Dan bila sesekali ranjang berderak atau berderit,
serasa terdengar gemeretak tulang
ibunya yang sedang terbaring sakit.
(2004)
Duduk sendirian di bawah pohon cemara, peri waktu
yang kesepian menimang-nimang buah bulan
yang hijau muda. Buah bulan ditaruh di atas meja,
dikupas, dibelah-belah, lalu dimakannya.
Dari jendela kamar lantai tiga belas perempuan itu
hanya bisa menggerutu, “Bangsat benar itu bangsat.
Tak secuil pun ia sisakan. Padahal itu buahku.”
(2004)
Hujan-hujan begini, penjual bakso dan anaknya
lewat depan pintu rumahku. Ting ting ting.
Seperti suara mangkok dan piring peninggalan ibuku.
Berulang kali ting ting ting, tak ada yang keluar
membeli bakso. Tak ada peronda duduk-duduk
di gardu. Semua sedang sibuk menghangatkan waktu.
Aku tak ingin makan bakso, tapi tak apalah
iseng-iseng beli bakso. Aku bergegas mengejar
tukang bakso ke gardu ronda. Bakso! Terlambat.
Penjual bakso dan anaknya sedang gigih makan bakso.
Airmata penjual bakso menetes ke mangkok bakso.
Anak penjual bakso tersengal-sengal, terlalu banyak
menelan bakso. Kata penjual bakso kepada anaknya,
“Ayo, Plato, kita habiskan bakso kita. Kasihan ibumu.”
Mereka yang makan bakso, aku yang muntah bakso.
(2004)
Selepas usia 60 saya sering terdiam di muka jendela,
mengamati tingkah anak kecil yang lucu-lucu.
Saat sekecil mereka saya baru fasih mengucapkan nana,
maksudnya celana, dan saya belajar keras memakai celana
dan sering keliru: kadang terbalik, kadang seliritnya
menjepit dindaku. Ibu curang: diam-diam mengintip
lewat celah pintu. Baru setelah ananda terjengkang
karena dua kaki masuk ke satu lubang, ibu buru-buru
menyayang-nyayang pantatku: Jangan menangis, jagoanku.
Celana juga sedang belajar memakaimu.
Kasihan ibu, sering didera kantuk hingga jauh malam,
menjahit celana saya yang cidera. Sampai sekarang kadang
tusukan jarumnya, auw, masih terasa di pantat saya.
Saya masih berdiri di muka jendela, memperhatikan
seorang bocah culun, dengan celana bergambar Superman,
sedang ciat-ciat bermain silat. Tiba-tiba ia berhenti.
Bingung. Seperti ada yang tidak beres dengan celananya.
Oh, gambar Superman-nya rontok. Ia cari, tidak ketemu.
Lalu ibunya datang menjemput. Senja yang dewasa
mulai merosot. Tubuh yang penakut mendadak ribut.
Yeah, ini celana diam-diam mau melorot. Saat mau tidur
baru saya tahu: hai, ada gambar Superman di celanaku.
(2004)
Maria sangat sedih menyaksikan anaknya
mati di kayu salib tanpa celana
dan hanya berbalutkan sobekan jubah
yang berlumuran darah.
Ketika tiga hari kemudian Yesus bangkit
dari mati, pagi-pagi sekali Maria datang
ke kubur anaknya itu, membawakan celana
yang dijahitnya sendiri dan meminta
Yesus untuk mencobanya.
“Paskah?” tanya Maria.
“Pas sekali, Bu,” jawab Yesus gembira.
Mengenakan celana buatan ibunya,
Yesus naik ke surga.
(2004)
Dua puluh tahun yang lalu aku melihatmu
sedang melamun di dalam becak yang kauparkir
di depan warung makan Sabar Menanti.
Petugas ketertiban kota datang menggarukmu:
becak dan si tukang becak diangkut mobil patroli.
Sepuluh tahun kemudian aku melihatmu
sedang mengantuk di dalam becak yang kauparkir
di depan rumah makan Sabar Menanti.
Petugas ketertiban kota datang menggarukmu:
becak segera diangkut mobil patroli,
si tukang becak dipersilakan pulang berjalan kaki.
Dan malam ini, sayang, aku melihatmu
sedang mendengkur di dalam becak yang kauparkir
di depan restoran Sabar Menanti.
Petugas ketertiban kota mengayuh becakmu,
membawamu pergi ke tempat yang sepi
sambil tetap membiarkanmu dininabobokan mimpi.
Tidurmu begitu manjur sampai kau tak tahu
bahwa becakmu sedang parkir di depan kuburan.
Aku tinggal rintik-rintik hujan ketika subuh datang,
ketika kau menggeliat dan berbisik lantang
sepanjang azan, dan becakmu dicari-cari penumpang.
(2005)
Seperti pisau yang dicabut pelan-pelan
dari cengkraman luka.
(2005)
Mengapa bulan di jendela makin lama
makin redup sinarnya?
Karena kehabisan minyak dan energi.
Mimpi semakin mahal,
hari esok semakin tak terbeli.
Di bawah jendela bocah itu sedang suntuk
belajar matematika. Ia menangis tanpa suara:
butiran bensin meleleh dari kelopak matanya.
Bapaknya belum dapat duit buat bayar sekolah.
Ibunya terbaring sakit di rumah.
Malu pada guru dan teman-temannya,
coba ia serahkan tubuhnya ke tali gantungan.
Dadah Ayah, dadah Ibu....
Ibucinta terlonjak bangkit dari sakitnya.
Diraihnya tubuh kecil itu dan didekapnya.
Berilah kami rejeki pada hari ini
dan ampunilah kemiskinan kami….
(2005)
Gema lonceng Natal
masih bergetar di kaca jendela
ketika Aceh meleleh
di kelopak mataku,
menetes deras
ke dalam gelas
di atas meja perjamuanmu.
(2005)
Aku datang menghadapmu dalam doa sujudku.
Terima kasih atas segala pemberianmu,
mohon lagi kemurahanmu: sekadar mobil baru
yang lebih lembut dan lebih kencang lajunya
agar aku bisa lebih cepat mencapaimu.
Sementara aku masuk ke rumahmu, kau malah
pergi ke kantor pos kecamatan,
mengambil jatah santunan seratus ribu.
Berbekal kartu tanda miskin, kau rela antri
berjam-jam hingga bajumu yang masih baru
langsung luntur oleh cucuran peluhmu.
Kau sempat menangis dan pingsan karena uang
yang dengan susah payah kaudapatkan
langsung amblas dirampas orang.
Kulipat dan kusimpan baju sembahyangku
di bawah bantal supaya tenang tidurku.
Di saku kirinya terselip kartu tanda miskinmu,
di saku kanannya kutemukan uang seratus ribu.
(2005)
Mobil merah di pojok kuburan
menderam-deram menyambut malam.
Lampu dinyalakan, klakson dibunyikan.
Di remang sunyi kembang jepun berguguran.
Lelaki tua sibuk berdandan,
di kaca spion wajahnya terlihat tampan.
Rambutnya harum, licin mengkilat,
lalat yang hinggap bakal terjerembab.
Kadang ia bersiul, dasi dan jas ia rapikan.
Rokok dihisap, asap dikepul-kepulkan.
Telepon genggam tak juga bilang
kapan si dia bakal muncul dari seberang.
Tiba-tiba ia terpana, pandangnya heran:
ada gadis kecil lewat, bersenandung pelan,
mendaki bukit, menyunggi bulan,
sekali-sekali menoleh ke belakang.
Mobil merah di pojok kuburan
serupa mobil-mobilan yang dulu hilang.
Musik dihidupkan, mata dipejamkan.
Di terang sepi kembang jepun bermekaran.
(2005)
Dua gunting gila menari-nari
di atas rambutnya.
Anda ingin model yang mana?
Mendongak ragu, ia berkata,
“Rambutku adalah jilbabku.”
Tujuh warna muda melintas-lintas
membujuk matanya.
Anda ingin warna yang mana?
Mengangkat dagu, ia berkata,
“Rambutku adalah jilbabku.”
Senja yang sedang bingung
mondar-mandir di atas keningnya
kemudian tertidur di alur alisnya.
Tersentuh waktu, rambutnya
serupa rumpun putrimalu.
(2005)
Magrib memanggilku pulang
ketika salju makin meresap
ke sumsum tulang.
Pulang ke hulu matamu
agar bisa mencair
dan menjadi airmatamu.
Musim tidak berbaju,
badan dimangsa hujan,
dan magrib mengajakku pulang.
Pulang ke suhu bibirmu
agar bisa menghangat
dan menjadi kecupkenyalmu.
Menggigil adalah menghafal rute
menuju ibukota tubuhmu.
(2005)
Di depan rumahmu ia betah berjaga mengawal sepi,
dari jauh terlihat tenang dan tinggi.
Jaman berubah cepat, andaikan nasib bisa diralat,
dan pohon cemara masih saja serindang mimpi.
Pada dahannya masih tergantung sepotong celana:
gambar panah di pantat kanan, gambar hati
di pantat kiri; dicumbu angin ia menari-nari.
Burung bulan suka bersarang di ranting-rantingnya,
bulunya berhamburan di tangkai-tangkainya.
Aku pulang di malam yang tak kauduga.
Halo, itu celana kok sudah beda pantatnya:
panah telah patah, hati telah berdarah;
darahnya kausimpan di botol yang tak mudah pecah.
(2005)
Datang menjelang petang, aku tercengang melihat
Ayah sedang berduaan dengan telepon genggam
di bawah pohon sawo di belakang rumah.
Ibu yang membelikan Ayah telepon genggam
sebab Ibu tak tahan melihat kekasihnya kesepian.
“Jangan ganggu suamiku,” Ibu cepat-cepat
meraih tanganku. “Sudah dua hari ayahmu belajar
menulis dan mengirim pesan untuk Ibu.
Kasihan dia, sepanjang hidup berjuang melulu.”
Ketika pamit hendak kembali ke Jakarta,
aku sempat mohon kepada Ayah dan Bunda
agar sering-sering telepon atau kirim pesan, sekadar
mengabarkan keadaan, supaya pikiranku tenang.
Ayah memenuhi janjinya. Pada suatu tengah-malam
telepon genggamku terkejut mendapat kiriman
pesan dari Ayah, bunyinya: “Sepi makin modern.”
Langsung kubalas: “Lagi ngapain?” Disambung:
“Lagi berduaan dengan ibumu di bawah pohon sawo
di belakang rumah. Bertiga dengan bulan.
Berempat dengan telepon genggam. Balas!”
Kubalas dengan ingatan: di bawah pohon sawo itu
puisi pertamaku lahir. Di sana aku belajar menulis
hingga jauh malam sampai tertidur kedinginan,
lalu Ayah membopong tubuhku yang masih lugu
dan membaringkannya di ranjang Ibu.
(2005)
Tenang saja, tak usah khawatir.
Aku berani pergi sendiri ke kamar mandi.
Aku akan baik-baik saja.
Tak ada hantu yang perlu ditakuti.
Oh tidak, aku tidak akan bunuh diri
di kamar mandi. Aku akan segera kembali.
Dari tempatku terbaring sayup terdengar
suara bocah sedang menjerit-jerit ketakutan.
Kemudian hening. Setelah itu ia tertawa nyaring.
Bu, aku sudah selesai mandi.
Di kamar mandi aku sempat berjumpa
dengan gembong sepi nan gondrong rambutnya.
Bagus. Nyalakan matamu.
Segera tuliskan kata-katamu
dengan sisa-sisa sakitmu
sebelum aku goyah, berderak, rebah
karena tak sanggup lagi menampung
gelisah tidurmu yang semakin parah.
Baiklah. Doakan menang ya, Bu. Aku akan duel
dengan harimau merah yang sering merusak tidurku.
(2005)
Sedang apa, penyair, malam-malam
masih sibuk menempa dan memahat kata?
Sedang membuat patung dirimu?
Sedang membuat batu nisan untukmu.
(2006)
Tengah malam pemulung kecil itu datang
memungut barang-barang yang berserakan
di lantai rumah: onggokan sepi, pecahan bulan,
bangkai celana, bekas nasib, kepingan mimpi.
Sesekali ia bercanda juga:
“Jaman susah begini, siapa suruh jadi penyair?
Sudah hampir pagi masih juga sibuk melamun.
Lebih enak jadi teman penyair.”
Dikumpulkannya pula rongsokan kata
yang telah tercampur dengan limbah waktu.
Aku terhenyak: “Hai, jangan kauambil itu.
Itu jatahku. Aku kan pemulung juga.”
Kemudian ia pergi dan masuk ke relung tidurku.
(2006)
Kaulah matahari malam
yang betah berjaga menemani saya,
menemani kata, sehingga saya
tetap bisa menyala
di remang redup kata.
(2006)
Anda boleh menulis puisi
untuk atau kepada siapa saja
asal jangan sampai lupa
menulis untuk atau kepada saya.
Siapakah saya? Saya adalah Kata.
(2006)
Aku dan Ibu pergi jalan-jalan ke pusat kota
untuk meramaikan malam tahun baru.
Ayah pilih menyepi di rumah saja
sebab beliau harus menemani kalender
pada saat-saat terakhirnya.
Hai, aku menemukan sebuah terompet ungu
tergeletak di pinggir jalan.
Aku segera memungutnya
dan membersihkannya dengan ujung bajuku.
Kutiup berkali-kali, tidak juga berbunyi.
Mengapa terompet ini bisu, Ibu?
Mungkin karena terbuat dari kertas kalender, anakku.
(2006)
Bulan tertawa bahagia
melihat kau berdiri gagah
dengan jaket coklatmu.
Ombak mulai gelisah
melihat kau pelan-pelan
membuka jaket coklatmu.
Malam melonjak girang
melihat kau setengah telanjang
tanpa jaket coklatmu.
Nun dari seberang
seorang bidadari datang
berselimutkan jaket coklatmu.
Di pantai terpencil ini, Jengki,
sepasang sepi mabuk berat
di tubuh coklatmu.
(2006)
Selamat tidur, malam.
Selamat menggigil di tubuh
yang tak bisa tidur ini:
ranjang kecil yang tak
akan habis kautiduri.
(2006)
:: Dokumentasi Puisi Joko Pinurbo Rumah itu sepi sekali
tapi terasa riuh juga
ketika dua ekor celana
saling sambar di bibir jendela
sementara dua batang badan
tumbang perlahan
di pinggir ranjang.
(2006)
Di kamar mandi kutemukan
tubuhku yang haus sedang menari.
Satu, dua, tiga, dan jarum sepi
berputar keras sekali.
Bilur-bilur tatu telah membiru
pada punggung yang dicambuki waktu,
dan tubuhku yang aus terus menari
sampai kuyup ia sebelum mandi.
Tubuhku pohon ranggas
yang bertunas kembali,
sajak cinta yang ditulis ulang
oleh tangan tersembunyi.
Tubuhku kenangan yang sedang
menyembuhkan lukanya sendiri.
(2006)
Aku tak akan minta anggur darahMu lagi.
Yang tahun lalu saja belum habis,
masih tersimpan di kulkas.
Maaf, aku sering lupa meminumnya,
kadang bahkan lupa rasanya.
Aku belum bisa menjadi pemabuk
yang baik dan benar, Sayang.
(2006)
Seperti anak rusa menemukan sarang air
di celah batu karang tersembunyi,
seperti gelandangan kecil menenggak
sebotol mimpi di bawah rindang matahari,
malam ini aku mau minum di bibirmu.
Seperti mulut kata mendapatkan susu sepi
yang masih hangat dan murni,
seperti lidah doa membersihkan sisa nyeri
pada luka lambung yang tak terobati.
(2006)
Anak lelaki kecil melambai-lambai
dalam ingatan. Ia datang naik sepeda,
menyusuri jalanan kecil di tengah hutan cemara.
Bajunya hijau, celananya hitam,
tubuhnya terlihat ringkih dan ringan,
dan ia bersenandung riang,
kring kring…, sepeda merahnya meluncur pelan.
Awas, jangan melamun, di depan ada tikungan.
Tiba-tiba ia lari dikejar hujan,
meliuk-liuk menuruni tebing curam,
mau belok ke kiri keliru ke kanan,
oh akhirnya tergelincir ke gigir jurang.
Seperti kudengar suara aduh dari lembah
yang jauh, jeritan waktu dari relung yang dalam.
Dengan kaki dan dahi berdarah,
tahu-tahu ia muncul kembali di atas bukit.
Ia mengayuh sepedanya yang cidera
menuju rumah: si ibu sejak tadi didera gundah.
Setelah minum tiga tetes airmata ibunya,
sakitnya lerai. Senja berangkat tidur dengan damai.
(2006)
Dua kursi kurus duduk gelisah
di bawah pohon hujan di pojok halaman.
Dua ekor celana terbang rendah
dengan kepak sayap yang makin pelan.
Yang warnanya putih hinggap di kursi kiri.
Yang putih warnanya hinggap di kursi kanan.
Dua ekor celana, dua ekor sepi
menggigil riang di atas kursi
di bawah rindang hujan di pojok halaman
dan berkicau saja mereka sepanjang petang.
(2006)
Cinta telah tiba
sebelum kulihat parasnya
di musim semi wajahmu.
Telah menjadi kita dan kata
saat kucicipi hangatnya
di kuncup rekah bibirmu.
Menjadi deru dan dera
saat kuarungi arusnya
di laut kecil matamu.
(2006; kado buat Eka & Ratih)
Tubuhmu tak punya lagi ruang
ketika relungmu menghembuskan raung.
(2006)
Seperti pasien keluar masuk rumah sakit jiwa,
kau rajin keluar masuk telepon genggam,
melacak jejak suara tak dikenal yang mengajakmu
kencan di kuburan pada malam purnama:
Aku pakai celana merah. Lekas datang ya.
Kutengok ranjangmu: tubuhmu sedang membeku
menjadi telepon genggam raksasa.
(2006)
Aku masuk ke relung kata, mau bertemu
dengan bermacam-macam arwah kata,
malah harimau kata yang kujumpa.
Kuasah pena, kutikam lehernya.
Harimauku terluka parah,
penaku nyaris patah.
(2006)
Di bawah alismu hujan berteduh.
Di merah matamu senja berlabuh.
(2006)
Syamsul, kekasih kita, tiba-tiba raib entah ke mana.
Pada malam terakhir ia terlihat masih tertawa
bersama Saut, temannya minum bir dan bercanda.
Bahkan ia sempat mengantar sepasang turis
melihat-lihat korban gempa.
Setelah itu ia tinggalkan begitu saja becaknya
di depan rumahnya yang porak poranda.
Kotamu nanti bakal mekar menjadi plaza raksasa.
Banyak yang terasa baru, segala yang lama
mungkin akan tinggal cerita,
dan kita tak punya waktu untuk berduka.
Banyak yang terasa musnah, atau barangkali
kita saja yang gagap untuk berubah,
seakan hidup miskin adalah berkah.
Entahlah. Aku hanya lihat samar-samar
sarung Syamsul berkibar-kibar di depan rumah.
Suatu malam becak Syamsul datang ke rumahku:
“Apakah Mas Syamsul ada di sini?”
Kubetulkan celanaku, kurapikan sajak-sajakku:
“Syamsul masih ada. Ia tidak ke mana-mana.
Syamsul sudah menjadi nama sebuah kafe
yang baru saja dibuka. Maukah kau kuajak ke sana?”
(2006)
Celana ungu pemberian kakekku telah kugubah
menjadi layang-layang; kulepas ia di malam terang.
Terbang, terbanglah layang-layangku, celanaku,
mencium harum bulan: ranum bayi
yang masih disayang waktu;
menjangkau relung bunda di palung senja.
Saat aku sakit, layang-layangku menggelepar manja
di bawah jendela, lalu lenyap entah ke arah mana.
Telepon genggam menyampaikan pesan dari Ibu:
“Layang-layangmu yang lucu telah mendarat
di dahan pohon sawo di belakang rumah, tempat kau
dan bulan dulu sering menyepi membaca buku.
Ayahmu yang suka melamun segera berlari.
Ini baru layang-layang, katanya girang sekali.
Kini bapakmu sedang menerbangkan si ungu
di atas bukit di samping kuburan kakekmu.
Bulan sedang nakal-nakalnya. Salam rindu. Ibu.”
(2006)
Yesus yang seksi dan murah hati,
kutemukan celana jinmu yang koyak
di sebuah pasar loak.
Dengan uang yang tersisa dalam dompetku
kusambar ia jadi milikku.
Ada noda darah pada dengkulnya.
Dan aku ingat sabdamu:
“Siapa berani mengenakan celanaku
akan mencecap getir darahku.”
Mencecap darahmu? Siapa takut!
Sudah sering aku berdarah,
walau darahku tak segarang darahmu.
Siapa gerangan telah melego celanamu?
Pencuri yang kelaparan,
pak guru yang dihajar hutang,
atau pengarang yang dianiaya kemiskinan?
Entahlah. Yang pasti celanamu
pernah dipakai bermacam-macam orang.
Yesus yang seksi dan rendah hati,
malam ini aku akan baca puisi
di sebuah gedung pertunjukan
dan akan kupakai celanamu
yang sudah agak pudar warnanya.
Boleh dong sekali-sekali aku tampil gaya.
Di panggung yang remang-remang
sajak-sajakku meluncur riang.
Makin lama tubuhku terasa menyusut
dan lambat-laun menghilang.
Tinggal celanamu bergoyang-goyang
di depan mikrofon,
sementara sajak-sajakku terus menggema
dan aku lebur ke dalam gema.
“Hidup raja celana!” Hadirin terkesima.
Kelak akan ada seorang ibu
yang menjahit sajak-sajakku
menjadi sehelai celana
dan celanaku akan merindukan celanamu.
(2007)
Cita-citanya tinggal satu: memotret seorang pujangga
yang ia tahu tak pernah suka diambil gambarnya.
Ia ingat bual seorang peramal: “Kembaramu
akan berakhir pada paras seorang penyair.”
Demikianlah, dengan tangan gemetar, ia berhasil
mencuri wajah penyair pendiam itu dengan tustelnya.
Ia bahagia, sementara sang pujangga terpana:
“Ini wajahku, wajahmu, atau wajah kita?”
Tak lama kemudian tukang potret keliling itu mati.
Tubuhnya yang sementara terbujur di ruang
yang dindingnya penuh dengan foto-foto karyanya.
Ada foto penyair. Tapi tak ada foto dirinya.
Kerabatnya bingung. Mereka tidak juga menemukan
potretnya untuk dipajang di dekat peti matinya.
“Sudah, pakai foto ini saja,” cetus salah seorang
dari mereka sambil diambilnya foto pujangga.
“Lihat, mirip sekali, nyaris serupa. Ha-ha-ha….”
Penyair kita tampak di antara kerumunan pelayat
yang berdesak-desakan memanjatkan doa
di sekeliling peti almarhum. Ada seorang ibu
yang dengan haru mengusap foto itu: “Hatinya
pasti manis. Di akhir hayatnya wajahnya keren abis!”
(2007)
Lapar mengajak saya ke warung angkringan
di pinggir jalan. Tuan pedagang angkringan
sedang ketiduran. Ia batuk-batuk, mengerang,
kemudian ia betulkan batuknya yang sumbang.
Saya makan dua bungkus nasi kucing.
Saya bikin kopi sendiri, ambil rokok sendiri.
Saya bayar, saya hitung sendiri. “Kembaliannya
untuk Tuan saja,” kata saya dalam hati.
Lalu saya pamit pulang. “Selamat tidur, pejuang.”
Tuan pedagang angkringan terbangun.
“Tunggu, jangan tinggalkan saya sendirian!”
Setelah semuanya ia bereskan, ia paksa saya
segera naik ke atas gerobak angkringan.
”Berbaringlah, Tuan. Saya antar Tuan pulang.”
Amboi, saya telentang kenyang di atas
gerobak angkringan yang berjalan pelan
menyusuri labirin malam. Saya terbuai, terpejam.
Seperti naik perahu di laut terang, meluncur ringan
menuju rumah impian nun di seberang.
Samar-samar saya lihat bayangan seorang ibu
sedang meninabobokan anaknya dalam ayunan:
Tidurlah, tidur, tidurlah anakku tersayang….
(2007)
kepada penyair Haspahani
Saya sedang mencuci celana yang pernah
saya pakai untuk mencekik leher saya sendiri.
Saya sedang mencuci kata-kata
dengan keringat yang saya tabung setiap hari.
Dari kamar mandi yang jauh dan sunyi
saya ucapkan selamat menunaikan ibadah puisi.
(2007)
Ia punya tato jenderal di tubuhnya.
Selamat malam, jenderal. Aku mau tidur.
Dengan sigap jenderal kecilnya
segera berkeliling memeriksa tubuhnya.
Kau tak tersiksa tiap malam kuinjak-injak?
Tidak tersiksa, jenderal, malah terhormat.
Dan tidurlah ia, sementara jenderal rindu
yang lucu dan perkasa itu tetap berjaga
sebab siapa tahu berandalan sepi
datang mengobrak-abrik tubuh tuannya.
(2007)
Ia termenung sendirian di gardu gelap di ujung jalan.
Tidak jelas, ia peronda yang kesepian
atau pencuri yang kebingungan.
Dari arah belakang muncul seorang pengarang
yang kehilangan jejak tokoh cerita
yang belum selesai ditulisnya.
“Kucari-cari dari tadi, ternyata sedang
melamun di sini. Ayo pulang!”
Dari pada harus pulang, ia pilih lari ke seberang.
(2007)
Sepi meletus. Suaranya yang lucu
mengagetkan tato macan
yang sedang mengaum di tubuhmu.
(2007)
Di bawah jembatan layang
bocah lima tahun berkelahi
dengan bayangannya sendiri.
Uh! Ia mengerang.
Perutnya yang kembung kena tendang.
(2007)
Ayo, buku, baca mataku!
(2007)
Aku doakan semoga aman-aman saja.
Kalau nanti bertemu maling,
ajak dia ke rumahku.
Hasil curiannya bisa kita bagi bertiga.
(2007)
Kakiku telah kaujadikan kaki kursimu.
Jangan duduk terlalu lama, nanti kakiku patah,
kursimu rebah, pantatmu pecah.
(2007)
Hiii…, AKU merinding masuk ke rumahmu:
semua dindingnya penuh dengan fotomu!
(2007)
Aku beruntung bisa mencuri sehelai rambutmu
dan menanamnya di tubuhku
sampai tumbuh subur dan lucu.
Mungkin kata-kata juga seperti rambut.
Hitam di kamu, bisa jadi pirang di aku.
(2007)
Seperti bola pingpong memantul-mantul
di atas kening, bergulir pelan ke tebing tidurku
yang hening, melenting, menggelinding….
(2007)
merontokkan semua huruf “a”
dalam doaku yang bawel dan manja.
(2007)
Pilin dan padatkan aku menjadi sebatang candu,
hisap dan bakarlah sampai berkobar di tubuhmu.
Jika habis kopimu, seduh dan minumlah abuku
sampai menguap di pori-porimu.
(2007)
Gadis kecil jalan seorang
dengan payung hitam.
Tangannya gemetar
menjinjing bulan
dalam keranjang.
(2007)
Ini tempat umum, bung.
Dilarang melamun sembarangan di sini.
(2007)
Kambing hitam sebentar lagi akan disembelih
untuk korban persembahan. Kepada tukang jagal
yang akan menggorok lehernya ia berkata,
“Ketika lahir, buluku warnanya putih.”
(2007)
Jalan menuju kantorMu macet total
oleh antrean mobil-mobil curianku.
(2007)
Kota telah memberikan segala yang saya minta,
tapi tak pernah mengembalikan sebagian hati saya
yang ia curi saat tubuh saya dimabuk kerja.
Saya perempuan cantik, cerdas, bertato, sukses, dan kaya.
Semua sudah saya raih dan miliki kecuali diri saya sendiri.
Ah, akhir pekan yang membosankan. Ingin sekali
saya tinggalkan kota dan pergi menemuimu, mas.
Pergi ke pantai terpencil yang tak seorang pun bisa
menjangkaunya selain kita berdua. Saya ingin mengajakmu
duduk-duduk di bangku panjang yang menghadap ke laut.
Akan saya bacakan sajak-sajak seorang penyair
yang tanpa sengaja menyampaikan cintamu kepada saya.
Wah, mas sudah lebih dulu tiba. Ia tampak gelisah
dan mondar-mandir saja di pantai. Saya segera memanggil
dan mengajaknya duduk di bangku. “Duduklah, mas,
jangan mandir-mondar melulu. Ini kubawakan
sepotong coklat dan sebotol anggur merah tua.”
Mas mendekat ke arah saya dan saya menyambutnya:
“Mas boleh pilih, mau duduk di sebelah kiri atau di sebelah
kananku.” Ia sedikit terperangah. “Apa bedanya?” timpalnya.
“Kiri: bagian diri saya yang dingin dan suram.
Kanan: wilayah jiwa saya yang panas dan berbahaya.”
Diam-diam mas memeluknya dari belakang dan berbisik
di telinganya: “Kalau begitu, aku duduk di pangkuanmu saja.
Aku ingin lelap sekejap sebelum lenyap ke balik matamu
yang hangat dan sunyi. Sebelum aku tinggal ilusi.”
Perempuan itu merinding dan menjerit: “Maaasss....”
Pantai dan bangku mendadak fana dan tak seorang
penyair pun bisa menolongnya. Senja yang ia panggil mas
telah sirna. Ah, begitu cepat ia rindukan lagi kota.
(2008)
Tuhan yang cantik,
temani aku yang sedang menyepi
di rimba kosmetik.
Nyalakan lanskap
pada alisku yang gelap.
Ceburkan bulan
ke lubuk mataku yang dalam.
Taburkan hitam
pada rambutku yang suram.
Hangatkan merah
pada bibirku yang resah.
Semoga kecantikanku tak lekas usai
dan cepat luntur seperti pupur.
Semoga masih bisa kunikmati hasrat
yang merambat pelan
menghangatkan susuku
sebelum jari-jari waktu
yang lembut dan nakal
merobek-robek kutangku.
Sebelum Kausenyapkan warna.
Sebelum Kauoleskan lipstik terbaik
di bibirku yang mati kata.
(2009)
(1)
Liburan sekolah sudah tiba. Sepeda merahku melonjak gembira.
Sambil ngebut di jalan pulang ia meminta:
“Besok ajak aku piknik ya bang. Aku jenuh
tiap hari mengantarmu pergi pulang sekolah.
Aku ingin jalan-jalan ke bukit dan lembah.”
Kuremas gagang stangnya yang kusam, kuberi ia sepotong janji:
“Tentu aku akan akan mengantarmu tamasya ke tempat
yang seindah mimpi. Tapi kau tak boleh nakal.
Tak boleh menabrak pantat orang.
Tak boleh nyelonong ke jurang. Dan kalau belok
harus pelan-pelan, jangan malah menambah kecepatan.”
Ah sepeda merahku. Rodanya yang tak pernah baru
kadang menggelinding juga ke halaman tidurku.
Kutepati janji. Di sebuah sore yang hangat dan menggemaskan,
di bawah matahari yang gondrong rambutnya,
aku dan sepedaku pergi melancong ke hutan.
Sepedaku dan aku menyusuri lembah dan bebukitan
seperti dua petualang yang tak peduli pada tujuan.
Memasuki senja, kami tersesat di sebuah lorong cahaya
yang menuju ke cakrawala. Di ujung lorong cahaya muncul
sebuah tangga cahaya. Di atas tangga cahaya tampak
seorang lelaki tua sedang bermain sulap. Oh ia sedang menyulap
segumpal awan menjadi selembar sapu tangan.
Ia melambai dan memanggil: “Ayo lekaslah ke sini, nak.
Mari kusulap sepeda bututmu menjadi sepeda baru.”
Aku mendekat. Ya ampun, wajah tukang sulap itu mirip
wajah kakekku yang hanya pernah kulihat fotonya.
Aku ingin sekali naik ke tangga itu, tapi sepedaku buru-buru
mencegahku: “Ayo pulang, bang. Aku sudah capek dan kedinginan.”
Sampai di rumah, kudapatkan nenek sedang menggigil
di depan tungku, ditemani kucingnya yang montok dan lucu.
Kuhampiri ia dan kuraba keningnya: “Nenek sedang demam ya?”
Dengan lirih dan agak gemetar ia menimpal: “Aku rindu kakekmu.”
(2)
Rencanaku menjenguk teman yang lagi sakit tertunda lagi.
Hujan mengamuk tak henti-henti, wabah flu menyebar
ke seluruh penjuru kampung. Di mana-mana kutemukan
orang berkerudung sarung, seakan-akan negara sedang berkabung.
Sampah hujan menumpuk di sudut halaman, berangsur-angsur
mengeras menjadi es batu. Aku membantu ayah memecah-mecah
bongkahan es hujan. Ayah memasukkan beberapa bongkah
ke dalam kulkas, katanya: “Es batu ini, nak, sangat bagus
untuk bikin minuman. Bagus pula untuk obat.
Nanti kubikinkan ya? Ayah jamin kamu tak akan mudah
pusing, pilek dan demam bila kehujanan.”
Malam itu kulihat ayah banyak minum es hujan. Setelah puas,
ayah mengepalkan tangan dan mengacungkannya, serunya:
“Tubuhku sehat, badanku kuat, walau nasibku semakin gawat.”
Lalu ayah sempoyongan seperti orang mabuk.
Sejurus kemudian ayah menggelosor dan tertidur di depan televisi.
Dari dalam televisi penyiar mengucapkan salam:
“Selamat tidur, penyair. Selamat mabuk es hujan.”
(3)
Malam-malam aku disuruh ibu membeli kerupuk di warung seberang.
Kerupuk, kata ibu, bisa membuat meja makan yang dingin dan nestapa
jadi cerah ceria. Ibu suka kerupuk yang renyah dan seru bunyinya.
Di jalan remang-remang menuju warung aku berpapasan
dengan seorang adik kelasku yang parasnya lebih dari lumayan.
Kami beradu mata dan saling mengucapkan hai.
Tatapannya telah mengobrak-abrik kesunyian mataku.
Sejenak kami berbasa-basi. Lalu malam membimbing kami
ke sebuah bangku di bawah pohon rambutan di dekat warung.
Kami berbincang hangat tentang seluk-beluk sekolah.
Tentang pelajaran matematika yang membosankan.
Tentang awalan ber- yang membingungkan. Juga tentang bu guru
yang selalu bilang astaga bila ada muridnya yang pecicilan.
Aku pulang sambil bersiul sepanjang jalan. Tidak dengan kerupuk,
tapi dengan beberapa biji buah rambutan yang dipetik adik kelasku itu
dan diberikannya kepadaku, katanya untuk kenang-kenangan.
Malam berikutnya aku pura-pura mau beli kerupuk lagi, siapa tahu
bisa bertemu kembali dengannya. Ah, terlambat. Kulihat ia
keluar dari warung bersama entah siapa. Mereka jalan bersama
dengan mesra sambil ketawa-ketawa. Aku bengong, terpana.
Ia menoleh ke aku, matanya melirik dengan cemerlang, tapi tatapannya
tak sanggup lagi menembus mataku, bahkan seyum manisnya
telah mengubah hatiku menjadi sebongkah bara. Lelaki sepantaran aku
di sampingnya juga menoleh, tersenyum, menganggukkan kepala,
tapi aku keburu balik kanan, pulang. Pulang dalam bimbang.
Aku tak tahu apakah itu yang namanya cinta monyet.
Sedikit cintanya, lebih banyak nyometnya,
dan akhirnya mungkin hanya tinggal nyemotnya.
Menjelang tiba di rumah, kutemukan sajak Chairil berceceran
di pinggir jalan. Kupungut dan kemasukkan ke saku celana.
Di atas meja belajarku ada gambar Chairil sedang merokok
dengan mata disipit-sipitkan. Gayanya tampak agak dibuat-buat,
tapi cukup keren juga. Aku segera mengambil kepingan-kepingan
sajaknya dari saku celanaku, membersihkannya,
kemudian merangkainya menjadi sebuah kalimat, bunyinya:
Ah hatiku yang tak mau memberi, mampus kau dikoyak-koyak sepi.
(4)
Bu guru memberiku tugas membuat laporan kegiatan seni.
Sore itu kuminta ibu menemaniku melihat-lihat pameran lukisan
di sebuah galeri di sudut alun-alun kota. Lukisan-lukisan besar berbaris
di dinding dan dengan hormat menyambut kedatangan aku dan ibu.
Aku dan ibu terpikat pada sebuah lukisan yang tak jelas siapa pelukisnya.
Lukisan itu sepenuhnya berlatar hitam.
Di tengah hitam hanya ada sebuah rumah tua berpintu merah
dengan cahaya lampu redup remang. Lama aku terpesona
sampai terlambat sadar bahwa aku telah kehilangan ibu.
Ibu tak ada lagi di sampingku. Pastilah ibu sedang ke toilet
sebab tadi beberapa kali ibu menanyakan di mana toilet.
Tanpa ibu aku terus terpana memandangi lukisan itu.
Aku terkesiap ketika cahaya lampu di rumah itu makin lama
makin terang. Mungkin karena kupandangi terus,
lambat laun meremang kembali. Tiba-tiba aku merinding
dan merasa kesepian. Aku terhenyak ketika seseorang menepuk
bahuku, katanya: “Sedang melamun ya?” Ah, ternyata ibu.
“Ke toilet kok lama sekali sih, bu?”
“Ibu tidak dari toilet, anakku. Ibu habis memasuki rumah tua
dalam lukisan itu. Ternyata itu perpustakaan. Ibu sempat
membuka-buka sekilas beberapa buku tua. Ibu senang bisa menemukan
sebuah kitab puisi yang ibu cari-cari. Judulnya lucu, Celana.”
“Celana, ibu? Bukankah itu buku yang baru akan saya tulis
dua puluh tahun yang akan datang?”
Ibu segera menggandeng tanganku dan mengajakku makan bakso.
(5)
Malam Minggu. Aku duduk-duduk saja di ruang tamu
sambil menjahit baju seragamku yang koyak di bagian ketiak.
Aku menjahitnya dengan benang hitam yang lembut dan liat.
Tengah suntuk-suntuknya aku menjahit, adikku tersayang
tiba-tiba nyelonong dari belakang: “Pantesan ibu merasa kepalanya
berdenyit-denyit. Ternyata kamu menjahit dengan rambut ibu.”
(6)
Ini malam terakhir liburanku. Rasanya sekolah sudah merindukanku.
Kusempatkan membongkar tas sekolahku yang penuh
dengan ribuan kata-kata pemberian ibu dan bapak guru.
Kupilih dan kupilah mana yang harus kupersembahkan
kepada tempat sampah, mana yang mesti kuawetkan dalam ingatan.
Di ruang tengah ibu lagi bersendiri bersama televisi.
Aku mencoba melongok lewat celah pintu kamarku.
Oh, ibu sedang minum es hujan. Ibu tersenyum riang
sehabis meneguk es hujan. Teguk lagi, senyum lagi.
Teguk lagi, senyum lagi. Tapi mengapa gelas ibu
seperti tak berkurang isinya, malah terisi penuh kembali?
Rupanya ada air mata tak kelihatan yang mengucur ke gelas ibu.
Aku tahu ibu diam-diam sedang menangis terharu.
Aku tak tahu apakah ibu terharu karena nilai ulanganku bagus semua
atau karena belum bisa membelikanku sepatu baru.
Kututup rapat pintu kamarku, kukemasi buku-buku pelajaranku.
(7)
Pagi-pagi, berbekal kecupan hangat ibu,
aku bersama sepeda merahku berangkat berjuang kembali ke sekolah.
Di perjalanan aku dicegat oleh adik kelasku yang satu itu.
“Hai, ada titipan salam untukmu dari kakakku.”
“Siapa kakakmu?”
“Itu... yang ke warung bersamaku malam itu.”
Aku terdiam dan ia lanjut jalan. Senyum hebatnya tak bisa lagi kulawan.
(2009/2010)
Ketika kecil ia sering diajak ayahnya bergadang
di bawah pohon cemara di atas bukit.
Ayahnya senang sekali menggendongnya
menyeberangi sungai, menyusuri jalan setapak
yang berkelok-kelok dan menanjak.
Sampai di puncak, mereka membuat unggun api,
berdiang, menemani malam, menjaring sepi.
Ia sangat girang melihat kunang-kunang berpendaran.
"Kunang-kunang itu artinya apa, Yah?"
"Kunang-kunang itu artinya kenang-kenang."
Ia terbengong, tidak paham bahwa ayahnya
sedang mengajarinya bermain kata.
Bila ia sudah terkantuk-kantuk, si ayah segera
mengajaknya pulang, dan sebelum sampai di rumah,
ia sudah terlelap di gendongan.
Ayahnya menelentangkannya di atas amben tua,
lalu menaruh seekor kunang-kunang di atas keningnya.
Saat ia pamit pergi ngembara, ayahnya membekalinya
dengan sebutir kenang-kenang dalam botol.
"Pandanglah dengan mesra kenang-kenang ini
saat kau sedang gelap atau mati kata;
maka kunang-kunang akan datang memberimu cahaya."
Kini ayahnya sudah ringkih dan renta.
"Aku ingin ke bukit melihat kunang-kunang.
Bisakah kau mengantarku ke sana?"
Malam-malam ia menggendong ayahnya
menyusuri jalan setapak menuju bukit.
"Apakah pohon cemara itu masih ada, Yah?"
tanyanya sambil terengah-engah.
"Masih. Kadang ia menanyakan kau
dan kubilang saja: Oh, dia sudah jadi pemain kata."
"Nah, kita sudah sampai, Yah. Mari kita bikin unggun."
Si ayah tidak menyahut. Pelukannya semakin erat.
"Tunggu, Yah, kunang-kunang sebentar lagi datang."
Si ayah tidak membalas. Tubuhnya tiba-tiba memberat.
Ia pun mengerti, si ayah tak akan bisa berkata-kata lagi.
Pelan-pelan ia lepaskan ayahnya dari gendongan.
Ketika ia baringkan jasadnya di bawah pohon cemara,
seribu kunang-kunang datang mengerubunginya,
seribu kenang-kenang bertaburan di atas tubuhnya.
"Selamat jalan, Yah. In paradisum deducant te angeli."
(2010)
(1)
Saya sedang tamasya di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon beringin di alun-alun kota.
Saat duduk-duduk di bawah judul puisi, saya terpikat
pada kata celana. Saya penasaran dan segera mendekatinya.
Ternyata itu sebuah tabir besar berbentuk celana.
Saya buka tabir itu dan tahu-tahu saya sudah berdiri
di depan jurang yang merah menganga.
Saat itu juga saya berteriak tolong, tolong….
Karena panik, saya tak sempat menutup kembali tabir itu
dengan sempurna seperti semula.
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu kaget
mendengar jeritan tolong tolong. Lebih kaget lagi
melihat kata celana telah berubah menjadi cenala.
Ia menoleh ke kanan ke kiri, lalu buru-buru pergi,
persis saat senja sedang terjun ke jurang cakrawala.
(2)
“Bu, mengapa saya diberi nama Cenala?”
“Waktu itu bapakmu sedang di kamar mandi,
sementara aku sedang berjuang melahirkanmu,
ditemani dukun bayi. Bapakmu terlalu gembira
mendengar tangis pertamamu dan ingin segera melihatmu.
Ia tergesa-gesa mengenakan celana sampai-sampai
celananya terbalik. Itulah sebabnya, kau dinamai Cenala.”
“Tapi cenala itu artinya apa, Bu?”
“Jangankan aku, kamus pun tak tahu artinya.
Bapakmu juga tak pernah menjelaskannya.”
“Lalu bagaimana saya dapat mengetahuinya?”
“Almarhum bapakmu punya teman baik,
seorang pengumpul barang-barang antik,
yang pandai membaca tanda. Dia tinggal di Yogya.
Tapi dia sulit ditemui dan belum tentu mau ditemui
secara orangnya tak kalah antiknya. Sebelum wafat,
bapakmu sempat menitipkan sejumlah rahasia padanya.”
(3)
Saya berada kembali di sebuah halaman buku puisi.
Buku puisi itu sedang dibaca seorang penyendiri
di bawah pohon mangga di belakang rumahnya.
Saya lihat kata cenala telah kembali menjadi celana.
Saya masih penasaran dan ingin membuka lagi tabirnya.
Tabir terbuka dan tahu-tahu saya sudah terdampar
di sebuah trotoar. Saya lihat beberapa orang pegadang
sedang duduk-duduk mengobrol, bercanda, ngopi
di warung angkringan di remang cahaya.
Saya bertanya-tanya dalam hati: inikah Yogya?
Si penyendiri yang sedang suntuk membaca itu heran
menemukan kata cenala telah berubah menjadi celana.
Ia tertawa antara waras dan gila.
Dan ia lupa bertanya siapakah saya sebenarnya.
(2010)
Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan ke kiri.
Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….
Sesaat mereka membisu.
Gigil malam mencengkeram bahu.
“Rasanya pernah kudengar suara byuurrr
dalam tidurmu yang pasrah, Bu.”
“Pasti hatimulah yang tercebur ke jeram hatiku,”
timpal si ibu sembari memungut sehelai angin
yang terselip di leher baju.
Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan Ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah, bukan?
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.”
Selepas tengah malam mereka pulang ke ranjang
dan membiarkan jendela tetap terbuka.
Siapa tahu bulan akan melompat ke dalam,
menerangi tidur mereka yang bersahaja
seperti doa yang tak banyak meminta.
(2010)
Masa muda telah ia rangkum dan ia masukkan
ke dalam tas gendongnya, dua puluh kilogram beratnya.
Pagi-pagi sekali ia pamit kepada pacarnya:
“Aku akan pergi ke puncak Merapi
mencari batu kata paling murni.
Akan kupersembahkan padamu nanti.”
Menyilangkan tangan di dada, si pacar terpana.
“Tega sekali kautinggalkan aku
hanya untuk berburu kata-kata.
Kau tak tahu, kata-kata tak bisa menaklukkan hatiku.
Hanya hati kata yang dapat membuat
dadaku berdenyut dan mataku menyala.”
Tanpa cium berangkatlah ia memburu mimpi.
Tertatih, terjungkal, ia panjati tebing terjal
dan terus mendaki ke puncak tinggi.
Di bawah sana pacarnya galau menanti:
akankah ia kembali atau terperosok ke jurang sepi?
Di sebuah Minggu yang hangat pulanglah ia.
Tubuhnya kusut, wajahnya kumal.
Rambutnya yang lurus berubah ikal.
Di bawah pohon mangga ia bertemu pacarnya.
“Mana batu kata paling murni untukku?
Akan kujadikan hiasan kalungku.”
Ditagih janji, ia tertunduk malu.
“Gunungnya keburu meletus
sebelum aku berhasil mencapai puncaknya.
Aku cuma bawa abunya, dua puluh kilogram banyaknya.”
Antara geli dan haru, si pacar teringat abu
yang dibubuhkan di dahinya di sebuah Rabu. Rabu Abu.
Ia ambil sejumput abu dari tas gendong kekasihnya,
ia oleskan pada jidatnya seraya berkata,
“Puisi pertama adalah abu.“
Merapat sedikit, ia goreskan sebaris ciuman di bibirnya.
“Malam ini kau resmi jadi penyairku,” ucapnya
dan selembar daun mangga jatuh di atas rambutnya.
“Maaf, buah mangganya sudah habis,
tapi aku masih menyimpan kulitnya.”
(2010)
Malam minggu,
malam para jomblo,
malam para penunggu.
Pengembara muda duduk gelisah di beranda
menunggu pacarnya tak kunjung tiba.
Rindu yang ditabungnya sudah jadi racun;
bahayanya sudah sampai di ubun-ubun.
Ada orang linglung berjalan limbung di depan rumah.
Matanya bingung melihat jaman sudah berubah.
Mau belok kiri, ia gamang dan ragu.
Mau belok kanan, takut terjebak di gang buntu.
Hujan datang dan listrik mati.
Kepala takut gelap, hati tak mau pergi.
Apa lagi yang bisa bikin tenteram dan betah
bila semua, seperti kata Chairil,
tambah jauh dari cinta sekolah rendah?
Pengembara muda duduk gelisah di beranda
menunggu pacarnya tak kunjung tiba.
Apakah di sana si dia juga resah menanti?
Ia mainkan gitar dan ia bernyanyi:
Kekasih pergi meninggalkan celana di kamar mandi.
Mimpi pergi meninggalkan selimut yang belum dicuci.
Hujan pergi meninggalkan petir di subuh hari.
Burung pergi meninggalkan kicau di ranting trembesi.
Puisi pergi meninggalkan bunyi di palung sunyi.
Pergilah pergi ke mana jaman mengajakmu pergi.
Kuminum sendiri racun rinduku di sini.
Jangan khawatir, aku tak akan mati.
(2010)
Bulan yang kedinginan
berbisik padamu:
“Bolehkah aku mandi sesaat saja
di hangat matamu?”
Malam sepenuhnya milikmu
ketika bulan tercebur
ke dingin matamu.
Bulan itu bulatan hatimu,
bertengger di dahan waktu.
(2010)
Sebentar lagi aku akan sampai di rambutmu,
seperti embun hinggap di pucuk perdu.
Dua bentar lagi aku akan sampai di matamu.
Semoga semakin nikmat perihmu.
"Siapakah kamu yang rela berlinang di mataku?"
"Aku sebutir doa yang berasal dari tetes keringatmu."
Tiga bentar lagi aku akan sampai di bibirmu.
Lenyapkan aku, habiskan aku dalam hausmu.
(2010)
Pada akhir pekan saya menyepi di sebuah hotel tua
di pinggiran kota. Petugas hotel mengantar saya
ke kamar nomor 1105. “Sudah lama kamar ini tidak dihuni.
Tak ada tamu yang berani menginap di sini.”
Kamar itu lumayan besar, dilengkapi empat meja bundar.
Saya bersiap lembur, menunaikan kerja menggambar.
Di meja-1 jokpin-1 menyulut sebatang rokok,
melamun sebentar, kemudian mulai menggambar
mobil jenazah. Supaya tidak tampak seram,
mobil jenazah itu diberi warna biru langit
dan dikasih tulisan Mati untuk Hidup Abadi.
Di meja-2 jokpin-2 sibuk menggambar sopir mobil jenazah
sambil dengan khidmat menyedot rokok.
Sopir mobil jenazah itu berusia sekitar 55 tahun,
kulitnya hitam manis, memakai kopiah, bersepatu sendal,
mengenakan baju batik, kepalanya berhiaskan uban.
Ia sopir yang lugu dan sopan. Ia punya cara khas
untuk menghormat jenazah yang diantar masuk
ke dalam mobilnya: membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Di meja-3 jokpin-3 suntuk menggambar peti jenazah
sambil sesekali mempermainkan asap rokok.
Peti jenazah bikinannya sederhana saja, tanpa ukiran dan hiasan.
Ia tidak ingin peti jenazah itu tampak lebih mewah
dari jenazah yang akan ditidurkan di dalamnya.
Di meja-4 jokpin-4 bertugas menggambar jenazah.
Ia tampak sangat gelisah sampai-sampai tanpa sadar
dimatikannya rokok yang baru separuh dihisapnya.
Berkali-kali ia membuat sketsa, tak ada satu pun yang jadi.
Ia ingin jenazah buatannya terlihat tenang dan riang,
seperti orang habis mandi. Lebih bagus lagi jika jenazah itu
terbaring damai sambil mendekap sebuah buku puisi.
Menjelang dinihari saya dikagetkan suara kecipak air
di kamar mandi. Dengan waspada saya buka pintu kamar mandi:
ah, kulihat jokpin kecil sedang mandiri (mandi sendiri)
sambil bermain telepon genggam. Telepon genggam mainan.
Jokpin-1, jokpin-2, dan jokpin-3 tertidur di kursi masing-masing,
sementara jokpin-4 masih terlihat bingung dan pusing.
Jidatnya seperti puisi setengah jadi.
Pagi-pagi sekali petugas hotel mengetuk pintu,
memberitahukan ada seorang tamu berkopiah, berbaju batik,
bersepatu sendal, beruban menunggu saya di lobi.
“Dia bilang mobil jenazahnya sudah siap.”
Jokpin-4 bangkit berdiri: “Katakan kepada sopir mobil jenazah itu
bahwa jenazahnya belum jadi. Tolong persilakan beliau pergi.”
Suatu malam saya diundang pesta puisi di balai kota.
Di halaman gedung pertunjukan saya melihat mobil jenazah
berwarna biru langit terparkir di antara mobil-mobil lainnya
yang tentu saja bukan mobil jenazah namun bila diamati
dengan mata ketiga sebenarnya mirip mobil jenazah juga.
Sopir mobil jenazah tahu-tahu sudah berdiri
di hadapan saya. Dengan hormat ia membungkuk, terpejam,
sambil menempelkan telapak tangan kanan ke dada.
Saya tarik lengannya: “Hai, aku masih hidup, tahu?”
Ia cuma tersenyum dan berkata, “Maaf Tuan, maaf Tuan.”
Di lorong remang menuju kamar mandi saya dihadang
seorang wartawan: “Seperti apa rasanya menulis puisi?”
Saya jawab sekenanya, “Mungkin seperti menggambar jenazah
tak jadi-jadi.” Ia hendak bertanya lagi, tapi tidak jadi.
Saat saya menunggu taksi untuk pulang, sopir mobil jenazah
mendekati saya lagi. “Taksinya mogok. Mari ikut mobil saya saja.”
Dengan halus saya menolak tawarannya dan mempersilakannya
segera pergi. Saya tak ingin melihat mobilnya lagi.
Biarlah saya dengar deru suaranya saja dalam sunyi.
Puisi ini belum jadi tapi mesti diakhiri sebab saya harus segera
menerima telepon dari sopir mobil jenazah itu.
Ia mengabarkan dirinya baru saja dapat lotere. Nomornya tembus.
“Memang kamu pasang nomor berapa?” tanya saya.
Dari seberang sana ia menjawab riang: “Nomor 1105.”
(2010)
Sesungguhnya saya malas membaca sajak-sajak saya sendiri.
Setiap saya membaca sajak yang saya tulis, dari balik
gerumbul kata-kata tiba-tiba muncul orang gila baru
yang dengan setengah waras berkata,
“Numpang tanya, apakah anda tahu alamat rumah saya?”
Kuantar ia ke rumah sakit jiwa dan dengan lembut kukatakan,
“Ini rumahmu. Beristirahatlah dalam damai.”
Gila, ia malah mencengkeram leher baju saya dan meradang,
“Ini rumahmu, bukan rumahku.”
Pernah saya mendapatkannya sedang berlari-lari kecil
di jalanan panas, lalu mendadak berhenti, mendongak ke langit,
menghormat matahari. Kali lain saya menemukannya
sedang tercenung di pinggir jalan sambil tersenyum terus,
seperti orang malang sedang menertawakan nasibnya sendiri.
Saya hanya bisa berdoa dalam hati, semoga ia tidak pulang
ke dalam sajak-sajak saya.
Mungkin cara terbaik untuk mencegah kemunculannya
dan terhindar dari gangguannya adalah berhenti menulis.
Tapi kawan saya bilang, “Tanpa dia, sudah lama kamu mati.”
(2010)
Mengenakan kemeja dan celana pendek putih,
Durrahman berdiri sendirian di beranda istana.
Dua ekor burung gereja hinggap di atas bahunya,
bercericit dan menari riang.
Senja melangkah tegap, memberinya salam hormat,
kemudian berderap ke dalam matanya yang hangat dan terang.
Di depan mikrofon Durrahman mengucapkan pidato singkatnya:
“Hai umatku tercinta, dalam diriku ada seorang presiden
yang telah kuperintahkan untuk turun tahta
sebab tubuhku terlalu lapang baginya.
Hal-hal yang menyangkut pemberhentiannya
akan kubereskan sekarang juga.”
Dua ekor burung gereja menjerit nyaring di atas bahunya.
Durrahman berjalan mundur ke dalam istana.
Dikecupnya telapak tangannya, lalu dilambai-lambaikannya
ke arah ribuan orang yang mengelu-elukannya dari seberang.
Selamat jalan, Gus. Selamat jalan, Dur.
Dalam dirimu ada seorang pujangga yang tak binasa.
Hatimu suaka bagi segala umat yang ingin membangun kembali
puing-puing cinta, ibukota bagi kaum yang teraniaya.
Ketika kami semua ingin jadi presiden,
baju presidenmu sudah lebih dulu kautanggalkan.
(2010)
Ke belantara Jakarta ia pergi ngembara.
Di tembok-tembok kota mimpinya menggema.
Senar gitarnya terbuat dari rambut ibunya.
Keringatnya terbuat dari peluh bapaknya.
Bila ia berdendang dan memetik gitarnya,
ibunya yang jauh di kampung berdesir-desir hatinya.
(2010)
Subuh nanti aku akan jadi sebutir embun
di atas daun talas di sudut kebun.
Pungut dan sembunyikan di kuncup matamu
sehingga matamu jadi mata embun.
Atau masukkan ke celah bibirmu
sehingga bibirmu jadi bibir embun.
Sabar…, aku harus pergi dulu menjenguk
seorang bocah perantau yang sedang tertidur pulas
di bawah pohon besi di sudut kotamu.
Aku akan menetes di atas luka hatinya
yang merah menganga sampai ia terjaga:
“Terima kasih, telah kausangatkan perihku.”
Mungkin aku tetes terakhir dari hujan semalam
yang belum rela sirna sebelum bertemu
dengan ibusunyi dari bocah perantau itu.
Mungkin kau hanya akan memandangiku berkilau
di atas daun talas di sudut kebun
sampai aku menguap, lenyap, ke cerlap matamu.
(2010)
: Ananda Sukarlan
Telah kuserahkan hatiku yang merdu
ke dalam tanganmu, piano.
Gubahlah gelisahku menjadi sebuah lagu.
Di padang hening aku terbaring.
Tanganmu yang ramah
menari-nari di atas rusukku,
menggetarkan bilah-bilah igaku.
Tubuhku meronta ketika jari-jari nadamu
menyentuh liang luka di rongga dadaku.
Kudengar gemuruh malam di bukit yang jauh
dan jeritan rendah di lembah yang resah.
Telah kuserahkan cintaku yang merdu
ke dalam tanganmu, piano.
Letupkan nada terakhirmu di jantung rinduku.
(2011)